« Home | Artikel PR 7 September 2006 » | liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006 »

Bandung, Kota Buku yang Terlupakan
BANDUNG sebenarnya memiliki sejarah panjang tentang buku. Bandung tidak hanya terkenal dengan kota ”fashion” dan hiburan ala Paris serta makanannya yang unik. Akan tetapi, sejak dulu kenyamanan Bandung disumbang pula oleh segi intelektual yang membuat para pelajar dan mahasiswa betah menimba ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-20, Bandung terukir sebagai kota berbasis percetakan dan penerbitan selain Batavia, Semarang, Bogor, Cirebon, Surabaya, Pasuruan, dan Surakarta. Dua percetakan milik pribumi di Bandung, seperti yang tercatat dalam buku Semangat Baru karya Prof. Mikihiro Moriyama, yaitu Toko Tjitak Affandi (1903) dan buku-buku karangan Sayyid Uthman, yang diterjemahkan oleh Raden Haji Azhari (tidak disebutkan nama percetakannya). Sedangkan percetakan milik Indo-Eropa diketahui bernama G. Kolff & Co.Dari rentang tahun 1850 - 1906, Kota Bandung telah dibanjiri 222 judul buku berbahasa Sunda, hasil cetakan Bandung dan luar Bandung. Sebagian besar buku-buku tersebut dikonsumsi oleh para pelajar dan mahasiswa, serta gratis disubsidi 100% oleh pemerintah (tidak dikomersialkan seperti sekarang).Buku berbahasa Sunda yang pertama, dicetak yaitu Kitab Pangajaran Basa Sunda setebal 1.490 halaman pada tahun 1950. Dan novel pertama karya sastrawan Sunda D.K. Ardiwinata, berjudul Baruang kanu Ngarora diterbitkan pada tahun 1914 oleh G. Kolff & Co.Kehadiran produk literasi bernama buku sebagai ciri-ciri kemodernan menggantikan prasasti, naskah, dan dokumen, berpengaruh besar terhadap bahan bacaan anak-anak sekolah. S
elain aksara Jawa, Arab, dan Melayu, para pelajar mulai "dipaksakan" mengenal bahasa Latin.Terlepas dari literasi di Bandung adalah produk kolonial, buku tetap memegang kenangan manis bagi warga Bandung tempo doeloe, seperti yang dituturkan oleh R.H. Goerjama, sesepuh Bandung Heritage dalam suatu kesempatan,"Waktu itu, bapak sempat mendatangi toko buku yang paling beken. Mau beli buku Roesdi jeung Misnem dan buku Panjoengsi Basa. Namanya Toko Buku Prawirawinata di Jalan Oude Hospitaalweg, (sekarang Jalan Lembong-pen.) dan cabangnya di Jalan Laksana yang dikelola oleh Pak Ahmad. Pak Prawirawinata, orangnya ramah sekali termasuk sama anak-anak," katanya.Menurut Gorjama, ketika itu toko buku pribumi yang tergolong besar dimiliki oleh R. Prawirawinata. Sedangkan dua terbesar lainnya dimiliki oleh Indo-Eropa, yaitu Toko Buku Van Dorp (sekarang Landmark) di Jalan Braga dan Toko Buku Visser (sudah rata dengan tanah, depan gedung PLN sekarang) yang menjual buku-buku populer.
Toko Buku Prawirawinata, sebagai toko buku pertama yang dimiliki pribumi tentunya menjadi kebanggaan tersendiri untuk warga kota Bandung. Ia menjadi representasi usaha milik orang Sunda yang menjual hasil karyanya dalam bahasanya sendiri. Toko buku itu didirikan sekitar tahun 1920-an dan menikmati masa jayanya sebagai penjual buku-buku Sunda hingga tahun 1930-an.Beberapa kali, toko buku Prawirawinata memasang iklan di koran Sipatahoenan. Menurut Goerjama, sempat melihat nama toko buku tersebut beriklan di majalah Moesson yang terbit di Belanda. Sayang, bangunan toko bukunya kemudian lenyap, dan kini berubah fungsi menjadi sebuah hotel.Salah satu toko buku terkenal lainnya pada masa itu, yaitu Toko Buku Van Dorp. Toko tersebut tercatat dalam sejarah karena keberhasilannya menjual Ensiklopedi Winkler Prins 16 jilid sebanyak 2.000 pasang dengan omzet sebesar 500.000 gulden!Selain pers, penerbitan dan toko buku, Bandung juga dikenal sebagai gudang khazanah ilmu pengetahuan yang tiada tara di Indonesia. Perpustakaan Centrale Bibliotheek di area Gedung Sate yang diresmikan tahun 1924, memiliki koleksi buku teknik dan umum terlengkap kedua setelah perpustakaan pusat di Batavia. Koleksi buku tua, langka, dan berharga tergolong antiqueriat di antaranya yaitu cetakan pertama buku karya Raffles, The History of Java dan Amboinsche Rariteitkamer karya Georg Eberhard Rumpf (hanya dicetak 3 eksemplar, salah satunya tersimpan di perpustakaan ini).
Bagaiamana Bandung sekarang? Sudah tidak aneh jika saat ini orang akan lebih mengenal Bandung sebagai pusat-pusat perbelanjaan untuk kebutuhan mode dan perut an sich. Saban akhir pekan, jalan raya di Kota Bandung selalu sesak dengan para pelancong. Berbelanja dengan information guide minus sejarah perbukuan zaman baheula. Sama sekali tidak mencantumkan, misalnya, di manakah alamat toko-toko buku yang bisa dijadikan sebagai salah satu objek wisata.Hanya ada satu kali event setahun ke belakang yang digagas oleh salah satu toko buku yaitu Wisata Buku, itu pun tidak berkelanjutan dan masuk agenda kota. Lantas, yang menjadi pertanyaan kemudian: apakah memang bisnis buku menurut sebagian besar event organizer atau pemerintah kota dipandang tidak menjanjikan?Padahal jika ditelisik lebih dalam, saat ini di Bandung telah tumbuh sedikitnya 50 titik komunitas literer. Mereka membutuhkan perhatian segera atau setidaknya dapat diketahui keberadaannya oleh masyarakat luas. Bandung tidak hanya memiliki toko-toko buku besar dan kegiatan besar, yang selama ini selalu diadakan dua kali dalam setahun oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat saja, tetapi juga memiliki kantong-kantong buku yang lebih variatif terutama dilihat dari aspek dunia buku berbasis komunitas.Rantai perbukuan di Bandung sebenarnya sudah 100% sempurna. Mulai dari penulis dengan komunitas menulisnya, penerbit, distributor buku, toko buku, perpustakaan/taman bacaan, hingga konsumen.
Namun kiranya, komponen-komponen tersebut kurang menarik bahkan sekadar untuk dilirik sekalipun oleh para pengambil kebijakan. Padahal, mereka dengan kekhasannya masing-masing telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit untuk membentuk karakter intelektual di Bandung.Peta buku BandungUsaha memetakan jaringan perbukuan di Bandung, pernah dilakukan tiga tahun belakangan ini. Hasilnya fantastis, terdapat 400 titik komunitas buku yang hidup di kota ini! Tetapi, entah kenapa usaha tersebut kandas di tengah jalan sehingga masyarakat belum sempat merasakan manfaatnya.Baru dua tahun kemudian, dengan semangat militansi swadaya antarpegiat buku di Bandung, akhirnya data tersebut dikumpulkan kembali dan menghasilkan dokumentasi baru bernama Urban Carthography (disusun oleh Common Room dan Dipan Senja) berisi 33 titik kantong buku. Peta ini telah tersebar di setiap kantung-kantung buku dan beberapa display distro dan sentra kegiatan kampus-kampus. Tahun ini, setelah data diperbarui tercatat sedikitnya 40 titik kantung literasi di Bandung, itu pun belum termasuk 100 penerbit lebih yang telah terdaftar di Ikapi Jawa Barat.Peta ini memberikan informasi kepada khalayak, bahwa sebaran kantung literasi masih tidak merata. Hampir sebagian besar tersebar di wilayah Bandung Utara. Hal tersebut ditilik wajar pula karena wilayah ini banyak berdiri kampus besar dan selalu diidentikkan dengan pusat keramaian Bandung.Kesadaran untuk menganggap buku sebagai kebutuhan primer memang masih terasa berat menurut sebagian besar masyarakat, akan tetapi akan menjadi pertanyaan kembali, Apakah benar membeli sebuah buku itu jauh lebih mahal ketimbang orang berbondong-bondong menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk berbelanja pakaian, itu pun dengan tawar menawar yang alot?
Fakta-fakta sejarah di atas telah membuktikan Kota Bandung tak perlu diragukan lagi sebagai pusat buku yang berpengaruh di tanah air. Namun, sayang sekali kejayaan Bandung sebagai salah satu pusat buku di tanah air ini, di tingkat lokalnya sendiri kian hari kian terkikis. Infrastruktur kota yang lebih mendukung ke arah sisi fashion dan makanan jauh berbanding terbalik dengan ketersediaan akses yang mudah untuk dunia buku.Simak penuturan "kuncen" Bandung, Haryoto Kunto kepada kolektor buku, Haryadi Suadi pada tahun 1985, tentang kegilaannya terhadap buku."Sejak lancar membaca, maka keinginan membaca pun semakin menggebu-gebu. Setiap waktu kosong diisi oleh membaca berbagai macam buku. Pokoknya, di masa-masa itu boleh dikata --tiada hari tanpa membaca buku.
Perpustakaan dan kawan-kawan yang punya minat yang sama mulai dihubungi. Juga semua toko buku telah 'diacak-acak'. Pengeluaran uang mulai diperketat, kemudian disisihkan demi membeli buku," katanya.Ya, semoga saja ke depannya masyarakat akan semakin menaruh minat yang tinggi terhadap buku di kotanya sendiri. Dan secara tidak langsung, aspek intelektual selain pemenuhan kebutuhan perut dan penampilan luar kasat mata, akan terpenuhi.
***
Deni Rachman & Wiku Baskoro
Bergiat di literacy agent Dipan Senja dipansenja@yahoo.com