Wednesday, November 15, 2006

Melesatkan Ide Cerita Novelmu
oleh : wiku baskoro

TERLALU banyak ide untuk sebuah cerita yang hendak dituliskan, sering kali tidak membantu kita untuk memulai menulis novel. Kita justru merasa kewalahan dan tidak dapat memilih, tokoh mana yang menjadi sentral cerita, setting mana yang akan dipilih dan ending seperti apa yang akan ada di akhir cerita, karena semuanya terasa menyenangkan. Namun, ide cerita tetaplah sebuah unsur penting dalam penciptaan sebuah novel. Berikut beberapa saran agar ide cerita bisa dipergunakan secara maksimal.
Pengumpulan ide

Banyak hal yang bisa membangkitkan ide cerita dalam pikiran kita, entah itu nyata atau khayalan. Yang perlu dilakukan adalah membuka mata, mendengarkan dan menjadi lebih peka. Pikirkanlah sebanyak mungkin ide cerita, jaringlah ide sebanyak mungkin karena memang dunia ini dipenuhi banyak inspirasi. Jangan takut jika ide cerita kita tidak orisinal, jangan pikirkan itu. Tampunglah dulu semua ide untuk novel kita. Tokoh, plot, kejadian-kejadian kecil. Semuanya.

Pengelompokan ide

Pada kondisi memerlukan banyak ide cerita, munculnya variasi ide sangatlah membantu. Namun, ketika kita dalam suasana menulis sebuah novel yang sedang berjalan 50 halaman, kemudian berbagai ide cerita menghampiri, maka kesulitan utama adalah ide cerita mana yang akan dipilih. Maka dari itu, semua ide cerita yang telah kita kumpulkan melalui pengamatan, lamunan, baca, dan menonton film, harus dikelompokkan.
Buatlah daftar semua ide itu dan kelompokkan menurut kategorinya. Untuk plot, semua ide cerita tentang plot dikelompokkan dalam satu catatan. Demikian juga dengan ide untuk tokoh, setting, percakapan, dan detail lain.

Catatan

Hal terpenting dari semua itu, tentu adalah catatan. Tanpa benda yang satu ini, terkadang ide cerita sehebat apa pun tidak akan kita ingat di kemudian hari ketika kita benar-benar memerlukannya. Maka, catatlah semua ide cerita yang telah terkelompok dalam sebuah catatan khusus, sehingga kita dapat dengan mudah mencari, membaca kembali ide-ide apa yang bisa kita gunakan dalam novel.

Membaca

Saat menghadapi writer's block atau kebuntuan menulis, kita dituntut untuk sekreatif mungkin mencari cara menghadapinya. Salah satu cara yang ampuh adalah membaca, terutama karya-karya yang kita minati. Bisa membaca ulang atau re-reading, bisa juga membaca bacaan yang belum pernah kita baca.

Banyak hal yang bisa dipelajari karya orang lain, terutama cara pandang si penulis terhadap suatu permasalahan, dan tentu saja plot, lalu gaya bahasa penulis lain juga bisa menjadi bahan yang memperkaya pengetahuan kita.

Diskusi

Dua kepala lebih baik dari pada satu. Pada beberapa kondisi pernyataan ini sangatlah tepat, begitu pun dengan proses menulis. Sebuah diskusi mengenai suatu plot, tokoh bahkan setting akan membuat pandangan kita terhadap suatu ide cerita menjadi lebih kaya. Dapatkan seorang teman, atau bahkan lebih, untuk mediskusikan ide cerita dan rencana-rencana apa yang akan kita lakukan pada novel kita. Namun tetap, kendali penuh dan keputusan pilihan ide ada pada diri penulis. Jangan pernah terlalu terpengaruh pada pendapat orang lain, jadikan semua itu sebagai masukan, bukan suruhan.

Ke semua saran di atas tentu akan kembali kepada kita, sebagai kreator tokoh dan cerita. Tips-tips menulis mungkin bukan hal terpenting. Tanpa kemauan yang kuat dan daya tahan, menulis akan sangat menyiksa. Namun jika kita menikmati segala proses, termasuk juga kebuntuan dalam menulis, rasanya segala usaha nantinya tidak akan pernah sia-sia. Ok, Selamat menulis!
***
(Wiku Baskoro, penggiat Dipansenja literacy agent, www.dipansenja.blogspot.com.)

"Menemukan" Lagi Masa Kecil
oleh : Kandi Sekarwulan

SEMUA dimulai dari bisik-bisik teman kuliah tentang sebuah toko buku. Tampilannya seram, hitam-hitam, bahkan katanya ada buku untuk pemujaan setan (belakangan saya tahu judulnya Satanic Verses karangan Salman Rushdie, sama sekali bukan buku macam itu). Karena penasaran, jadilah saya datang ke sana.

Sungguh tak terduga apa yang saya dapatkan. Di tengah tumpukan buku sastra-filsafat (apalah itu), terselip sebuah novel dengan sampul manis, Water Babies. Agak heran, saya membacanya sekilas. "Ibu Memperlakukan-Sebagaimana-Kau-Diperlakukan?"

Nama tokoh itu terasa akrab. Saya terkejut, teringat masa bertahun-tahun lalu tentang Bayi Air, cerita bersambung kesukaan saya di sebuah majalah anak-anak. Cerita itu tidak pernah selesai saya baca, karena berhenti berlangganan majalahnya. Astaga, apa ini cerita yang sama? Tergesa-gesa saya merogoh dompet, membawa buku itu pulang.

Setelah penemuan pertama, petualangan nostalgia buku pun berlanjut. Saya mencari ke mana-mana: toko buku alternatif, kios buku bekas, pameran buku, perpustakaan umum. Berbagai buku saya peroleh --kebanyakan buku bekas-- favorite saya waktu masih kanak-kanak, yang kebanyakan sudah hilang atau rusak berat.

Saya kembali merasakan asyiknya hidup mandiri seperti Peggy bersaudara di "Pulau Rahasia", indahnya gaun Vasilissa, dan pilunya "Kicauan Murai dari Negeri Cina". Saya diingatkan lagi pengalaman saya sakit kekenyangan karena ingin menyaingi Pak Kudanil dari "Dongeng Binatang", yang makannya tambah sampai empat kali.

Ada yang berubah ketika membaca kisah-kisah itu. Jika dulu sebuah cerita saya baca dan lupakan begitu saja, kini cerita yang sama membuat saya merenung lama. Saya jadi suka membanding-bandingkan tulisan pengarang ini dan itu, apa maksud dia menulis begini dan begitu, karena saya mengikuti kuliah tentang gaya penulisan.

Kini, saya lebih paham bahwa cerita-cerita sering mengandung nilai yang berbeda dan tidaklah perlu menuruti semua --sesuatu yang sering membingungkan waktu masih anak-anak. Setelah membaca, kembali saya tersadar di balik kepolosan dan kelucuan bacaan masa kecil, ada makna mendalam yang mungkin memengaruhi pemikiran saya sekarang. Mengalami kembali kisah-kisah itu di masa dewasa memberi saya perspektif yang berbeda, menutup beberapa "lubang kosong" dalam kenangan masa kecil.

Heboh nostalgia

Kini, setelah memiliki perpustakaan buku anak, terbukti bukan hanya saya yang heboh bernostalgia. Bukan satu-dua kali seorang ibu atau mahasiswa terkesiap, lalu dengan mata berbinar berkata "Aduh, ini bacaan saya waktu kecil!"

Seorang teman bercerita, dulu dia mengidentikkan diri dengan tokoh pelukis di sebuah buku. Sekarang, dia memang bukan seniman profesional, tapi saya sangat menyukai gambar-gambarnya. Kisah masa lalu bisa menjadi percakapan seru di perpustakaan, seperti waktu membaca ulang "Deni Manusia Ikan" yang selalu bicara dengan bahasa yang hanya dimengerti makhluk laut. Kami sakit perut menertawakan ungkapan itu, guyonan eksklusif bagi mereka yang lahir tahun 70 - 80-an dan membaca salah satu majalah anak-anak.

Petualangan saya, yang berawal dari sebuah toko buku seram, rasanya belum berakhir. Masih banyak buku anak yang menunggu ditemukan untuk menghadirkan masa lalu, mengembalikan kenangan berharga. Sekali-kali bolehlah menengok ke belakang agar tahu sudah sampai di mana kita sekarang. Kalau ada yang harus saya beri ucapan terima kasih, itu adalah perpustakaan, pameran, toko dan kios buku tanpa mereka, saya akan jadi tua tanpa pernah ingat betapa asyiknya menjadi anak-anak.
***
(Kandi Sekarwulan, pengelola Perpustakaan Anak Pustakalana, email: pustakalana@yahoo.com)

Menjadi Bijak dengan Buku
(Adi Toha, email: jalaindra@yahoo.com)

Berbicara tentang buku-buku yang inspiratif yang bisa memberikan pemahaman hidup kepada pembacanya adalah sebuah hal yang subjektif. Semua buku bisa menjadi sebuah buku yang inspiratif tergantung sejauh mana pembaca menemukan cerminan kisah atau refleksi diri dari buku-buku yang dibacanya. Buku-buku sastra berkelas Nobel Prize atau penghargaan-penghargaan lainnya, baik dalam ataupun luar negeri, bisa menjadi sebuah buku yang inspiratif bagi kita. Tidak menutup kemungkinan, buku-buku sastra pop semacam chicklit dan teenlit, atau buku-buku self-helping pun bisa menjadi inspirasi.

Jika seseorang menanyakan kepada saya, buku-buku apa saja yang inspiratif, saya akan menjawab beberapa judul: The Alchemist karya Paulo Coelho, Solitaire Mystery karya Jostein Gaarder, Les Miserables karya Victor Hugo, Tao Of Physic karya Fritjof Capra, atau Life of Pi karya Yann Martel. Saya akan mencoba memaparkan tiga buku pertama.

The Alchemist, berkisah tentang perjalanan seorang bocah bernama Santiago dalam mewujudkan legenda pribadinya. Saya pikir, semua bookaholic pasti telah membaca buku ini. Ya, benar. Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa diambil dari kisah Santiago: percaya kepada mimpi, mengikuti kata hati, peka terhadap firasat dan pertanda, keberanian untuk mengambil dan menjalani suatu pilihan dsb. Karya-karya Coelho selalu menghadirkan kisah-kisah yang inspiratif, yang bahkan bisa membuat kita tersihir saat menelusuri halaman demi halaman bukunya.

"Saat kau benar-benar menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya". Itulah petuah bijak yang mungkin menjadi kata-kata sakti bagi banyak orang, termasuk saya.

Solitaire Mystery, berkisah tentang perjalanan seorang bocah bernama Hans Thomas bersama ayahnya untuk mencari ibunya. Dalam perjalanan, sang bocah belajar banyak hal tentang dunia dan sejarah hidup dan perjalanannya. Satu hal yang saya dapat dari kisah Hans Thomas, adalah tidak ada yang namanya kebetulan. Peristiwa-peristiwa, sekecil apapun yang dialami dalam hidup kita telah dirangkai sedemikian rupa untuk menuju kepada apa yang harus kita jalani, dan kemana kita akan sampai pada suatu titik dalam kehidupan. Mungkin dalam bahasa Coelho, kebetulan-kebetulan itulah yang namanya pertanda.

Lalu, saya menemukan buku berjudul Les Miserables karya Victor Hugo. Novel ini berkisah tentang kehidupan Jean Valjean, seorang lelaki yang mengalami ketidakadilan di masa lalunya. Perjalanan waktu membuatnya bertemu dengan orang-orang yang menyadarkannya dari dendam atas masa lalunya, sekaligus ia belajar akan arti kebaikan dan kejujuran. Namun, perjalanan waktu pula yang selalu menghadapkan dirinya pada dua pilihan, antara harus berbuat baik ataukah berbuat jujur. Dari Jean Valjean saya belajar bahwa, mau tidak mau, di saat pilihan-pilihan mendatangi kita, kita harus berani untuk menentukan pilihan mana yang akan diambil dan kita harus siap menjalani konsekuensi-konsekuensi atas pilihan-pilihan tersebut.

Suatu ketika, seorang teman pernah bertanya kepada saya, "Manakah yang lebih baik, berbuat baik ataukah berbuat jujur?" Waktu itu saya hanya bisa diam, karena memang saya tidak tahu harus menjawab apa. Kebaikan dan kejujuran adalah dua hal yang berlainan yang hanya dibatasi oleh sebuah sekat tipis yang bernama perasaan. Terkadang, saat kita berbuat baik, di satu sisi kita telah berbuat tidak jujur pada diri kita maupun pada orang lain. Sebaliknya, di saat kita berbuat jujur, di satu sisi kita telah berbuat tidak baik bagi diri kita maupun orang lain.

Dengan menganggap bahwa kisah-kisah dalam sebuah buku merupakan replika dari kehidupan, akan banyak hal yang relevan untuk kita jadikan contoh dan kita jadikan inspirasi dalam perjalanan hidup kita sendiri. Menjadi bijak dengan apa yang kita dengar, apa yang kita lihat dan apa yang kita baca bukanlah sesuatu yang sulit, asalkan kita bersedia untuk membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman yang baru.
***
(Penulis adalah pengelola Toko Buku Cahaya Media, Jatinangor)

Novelis Qaisra ShahrazPakistan dan "Perempuan Suci"
dewi irma kampus_pr@yahoo.com

BESAR di Inggris, tak membuat perempuan ini serta-merta melupakan tanah kelahirannya, Pakistan. Dalam novel berjudul "Perempuan Suci" (The Holy Woman), Qaisra Shahraz tak hanya mengangkat cerita dengan latar Pakistan, tapi juga eksplorasi isu-isu soal perempuan, dari mulai sistem feodal, tradisi patriarkal sampai soal jilbab.

Dalam novel pertamanya itu, dengan terbuka Qaisra mengisahkan tentang perempuan Pakistan, yang meski terbilang berpendidikan tinggi, harus tunduk pada dominasi patriarkal laki-laki yang dianut turun-temurun di sebuah desa di Pakistan.

Adalah Zarri Bano, Muslimah cantik bergelar master, yang belum juga menemukan lelaki idaman, meski banyak yang melamarnya. Ketika suatu saat bertemu dengan Sikander, hatinya terpikat dan cerita cinta pun dimulai. Namun, kematian adiknya, Jafar, mengubah hidupnya 180 derajat.

Sesuai tradisi di daerahnya, anak lelaki adalah pewaris harta dan penerus martabat keluarga. Maka, ketika Jafar tewas, Habib, ayahnya, yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi, memerintahkan Zarri menjadi Perempuan Suci. Jelas, Zarri harus menanggalkan semua mimpi cintanya, karena ia hanya diizinkan menikah dengan Alquran. Selanjutnya, Zarri hanya bisa menyembunyikan segala perang batin dalam dirinya --apalagi ketika menyaksikan Sikander menikahi adiknya-- di balik burqa (jilbab panjang) yang membungkus tubuhnya dan membatasinya dengan dunia luar.

Soal isu jilbab yang diangkatnya, peraih Golden Jubilee Award ini punya alasan. Menurut Qaisra, ada anggapan di Barat bahwa Muslimah tertindas karena dipaksa memakai jilbab. "Anggapan seperti itu tidak benar," kata Qaisra, saat hadir dalam bedah buku Perempuan Suci di Salman ITB, Kamis (5/10).

Selain di ITB, Qaisra juga hadir dalam diskusi bukunya di beberapa tempat, bersama HMJ PPB FIP UPI, Klabbaca Common Room, dan Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), serta beberapa radio, dalam roadshow-nya di Bandung, 5-7 Oktober 2006.

Melalui novelnya, peraih master dalam bidang sastra ini ingin menunjukkan bahwa sekarang ini, kebanyakan Muslimah yang memakai jilbab, atas dasar kesadaran sendiri. Dalam novel ini digambarkan, awalnya Zarri sendiri sempat benci dengan burqa-nya. Namun, berikutnya Zarri benar-benar membutuhkan burqa, merasakan benda itu sebagai kulit keduanya, dan bahkan seperti telanjang jika tidak memakainya.

Qaisra mengisahkan, butuh 3 tahun untuk menyelesaikan novelnya ini. Setelah novelnya keluar, ia menyadari karyanya bisa saja menimbulkan kontroversi. Bagaimana mungkin seorang Muslimah tidak boleh menikah? Tentunya, itu sangat tidak islami.

Seorang peserta malah melontarkan pendapat bahwa novel ini berkemungkinan membuat pandangan Barat terhadap Islam menjadi (semakin) minor. "Bukan seperti itu. Jika kamu membacanya, kamu akan mengerti," kata Qaisra, menjawab pendapat itu.

Qaisra memang tertarik dengan isu-isu yang menyangkut kehidupan perempuan. Soal menikah lagi (remarriage), misalnya. "Lelaki bisa saja menikah lagi dengan mudah, hari ini, bulan ini, tahun ini, dst. Sedangkan perempuan tidak, kenapa?" ungkapnya.

Debut Qaisra dalam dunia literatur dimulai dari cerita pendek. Karyanya banyak mengupas soal isu-isu lintas-budaya dan memberikan gambaran problematika seorang Muslimah yang tumbuh dewasa di Inggris. Cerita pendek pertamanya, "A Pair of Jeans", kini dipelajari oleh siswa Inggris dan Jerman, untuk menelaah kultur Islam di negeri tersebut. Setelah The Holly Woman, Qaisra juga telah menerbitkan 2 novel lainnya.

Kehadiran Qaisra, yang juga penulis naskah untuk radio maupun televisi, tidak hanya berbicara soal novelnya, tapi juga sharing soal kepenulisan. Bagi Qaisra, keep on writing adalah yang terbaik. "Saya juga pernah ditolak. Tapi jangan pernah menyerah," kata Qaisra yang juga seorang dosen.

Pada akhirnya, lewat novelnya ini, Qaisra ingin memperkenalkan Pakistan kepada para pembacanya.
***

Pasar Buku Murah dan Berkualitas
(Liputan di Pikiran Rakyat Suplemen Kampus)

KAWAN Kampus suka membaca, tapi sulit memenuhi kebutuhan itu?
enuhi kebutuhan itu? Sudah bisa ditebak, alasannya karena harga buku semakin mahal. Tapi, kawan Kampus jangan dulu putus asa lalu balik kanan meninggalkan kebiasaan membaca hanya karena harga buku mahal.

Kalau kebetulan kawan Kampus lagi ingin olah raga sambil ngabuburit di lintasan lari Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, spanduk besar di mulut gerbang Sabuga membentangkan tulisan bahwa ada pasar buku murah di lokasi itu.

Dibuka pada 7 Oktober, menghadirkan 24 stan buku, termasuk ada pula stan penerbit besar seperti Gramedia dan Elex Media. Selain menggelar pasar buku, terdapat pula diskusi video dokumenter tiap sore sambil menunggu azan magrib.

Iklan di spanduk itu bukan tipuan. Di pasar buku kawan Kampus akan menemukan buku dengan harga Rp 5.000,00 sampai Rp 10.000,00. Bahkan, penerbit Jalasutra menawarkan sistem paket.

Menurut Nanang, wakil penyelenggara, penjualan buku murah ini memiliki beberapa alasan. Misalnya, buku yang dijual murah karena penerbit sudah mengantongi untung dari penjualan normal dan ada pula karena alasan adanya kemandekan penjualan di pasar.

”Targetnya sih agar buku-buku yang di gudang bisa habis”, kata pengelola toko buku Baca-Baca itu.

Tapi, kawan Kampus jangan langsung menduga buku yang dijual adalah buku bekas yang sudah lecek. Buku-buku yang ada di pasar ini masih dibungkus rapi dalam plastik dan tidak ada halaman yang lecek atau hilang. ”Di sini nggak bakal ditemukan buku-buku dengan kertas yang jelek atau rusak,” ujar Wiku, pengelola toko buku Lawang yang kebetulan pada hari pertama mendapat keuntungan bersih Rp 2 juta.

Alasan lain, yang mendorong para agen dan penerbit menjual buku murah karena ingin promosi. Contohnya, salah satu agen yang datang dari Kota Yogyakarta, Didi. Menurut pengelola toko buku Ombak, penurunan harga bukunya karena untuk menjajal konsumen buku di Kota Bandung.

”Lagi pula, kan saya sudah tidak perlu membayar royalti ke penerbit. Jadi jual murah juga saya masih untung,” kata Didi.

Selain itu, katanya, konsumen juga lebih suka mencari buku-buku berkualitas dengan harga yang murah. Hal itu adalah prinsip ekonomi yang selalu dilakukan oleh konsumen di mana pun. Ingin mendapat hasil seoptimal mungkin dengan modal sekecil-kecilnya.

Sekarang keputusan ada di tangan kawan Kampus. Soal harga murah atau tidak memang relatif. Tentunya sebagai mahasiswa, kawan-kawan masih dihadapkan dengan berbagai ragam kebutuhan. Dari kebutuhan bahan kuliah, bayar kos-kosan, sampai kebutuhan malam mingguan buat kawan yang sudah memiliki pasangan.

Kini, tinggal pintar-pintar memilah antara kebutuhan fisik dengan ilmu pengetahuan. Hanya ingat bahwa buku akan membukakan mata kita melihat dunia lebih luas.
***

agus rakasiwi kampus_pr@yahoo.com