Tuesday, July 21, 2009

Pilih Ikan Hias atau Ikan Hiu?




PILIH IKAN HIAS ATAU IKAN HIU?
Resume Pertemuan ke-2
Pelatihan Menulis Ilmiah & Ilmiah Populer 2009
Perpustakaan Balepustaka, Bandung, 15 Juli 2009

“Tuliskan sesuatu pada saya tentang sesuatu, jangan katakan sesuatu”, Acep Iwan Saidi (budayawan & sastrawan).

Pertemuan kedua mengalami kenaikan jumlah peserta yang semula 45 peserta bertambah menjadi 61 peserta, dengan 7 peserta yang berhalangan hadir. Pertambahan jumlah ini berasal dari peserta yang ikut pelatihan permateri dan peserta yang baru mengikuti paket. Salah seorang peserta baru bahkan mengejar waktu dari Lampung demi mengikuti pelatihan ini. Berdasarkan informasi dari panitia, pelatihan ini tetap membuka kesempatan kepada masyarakat umum yang berminat mengembangkan kepenulisan ilmiah sampai dengan total 70 orang peserta. Materi dimulai tepat pada pukul 15.30 dan selesai pukul 18.00 WIB.
Dr. Acep Iwan Saidi, M.Sn, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB dan pengajar program pasca sarjana di FSRD ITB yang berkesempatan mengisi materi kedua ini, memberikan tema Manajemen Ide dan Kreativitas. Suatu tema yang mengundang keingintahuan peserta untuk menjawab kesulitan mendokumentasikan lintasan ide-ide agar mudah dikembangkan dalam tulisan.
Titik keberangkatan materi kedua disampaikan dengan memberikan latihan singkat dalam secarik kertas dengan topik musim hujan. Setelah itu pemateri menggulirkan pertanyaan apa bedanya topik dan tema. Salah satu peserta menanggapi pertanyaan ini. Pemateri kemudian menandaskan definisi topik sebagai pokok masalah. Sedangkan tema adalah pokok masalah yang sudah memiliki tujuan, yang di dalamnya sudah tergambar analisis dan metode.
Pemateri kemudian menggulirkan materi pelatihan menuju ide. Dari mana datangnya ide? “Dalam konteks menulis, jika suasana hati tidak mendukung, ide untuk menulis juga tidak muncul. Hal itu bisa jadi benar. Tapi, persoalannya, jika ide diberikan mood, mood itu sendiri diberikan siapa? Mood kiranya bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, mesti ada penyebab yang menstimulasinya. Jika mood bisa distimulasi, ide, yang diberikan mood itu, tentu bisa distimulasi pula. Dengan kata lain, ide sesungguhnya bisa diciptakan, atau didatangkan.”
Sumber ide itu sendiri, menurut pemateri, di antaranya lewat membaca bacaan semisal buku. Membaca itu sendiri seharusnya sudah mulai beranjak tidak hanya secara praktis namun bisa melakukan membaca dengan imajinasi dan pikiran kritis.
Dua point besar berikutnya, pemateri memaparkan bagaimana ide itu dapat didokumentasikan dan mengembangkan ide supaya keluar dari bingkai konvensional.
Pelatihan kemudian bergulir dalam sesi tanya jawab yang disediakan dalam tiga termin dengan sekira 8 penanya. Salah satu penanya yang meminta penjelasan mengenai ‘tidak semua pemikir dapat menulis’, dan banyak juga penulis yang cara berpikirnya masih dangkal. Pemateri menanggapi pertanyaan ini dengan perumpamaan yang sering menjadi lelucon di kampusnya, “Sekarang itu ada intelektual ikan hias dan ada intelektual ikan hiu. Ikan hiu itu banyak dagingnya tetapi tidak pernah ke permukaan, sedangkan ikan hias menarik dilihat tapi ketika dimakan tidak ada dagingnya, dan sekarang kita lebih suka dengan ikan hias itu”. Pemateri lewat perumpamaan ini memotivasi peserta bagaimana ikan-ikan hiu ini dapat muncul ke permukaan. Di antara proses memunculkan ini yaitu dengan mengelola/manajemen ide. Antara ide dan pengemasan merupakan keterkaitan satu sama lain sehingga ide tersebut dapat disampaikan dengan baik dan mudah dicerna.
Pelatihan pada materi pertemuan kedua ini berakhir pada pukul 18.00 WIB dan akan dilanjutkan kembali pada materi pertemuan ketiga dengan tema Manajemen Bahasa oleh Kurniasih, S.S pada tanggal 22 Juli 2009.
Semoga bermanfaat.

Salamhangat,

Deni Rachman
Konsultan Program Literer

Ajak saudara atau relasi Anda untuk mengikuti kegiatan pelatihan ini yang insyaAllah bermanfaat untuk memupuk dan menggembleng dasar pemikiran dan mental menulis. Bagi yang berminat mengikuti pelatihan ini, pelatihan ini masih terbuka hingga pertemuan ke-8 (26 Agustus 2009) yang diselenggarakan setiap Rabu sore di Perpustakaan Balepustaka, Jln. Jawa No. 6. Informasi pendaftaran: 022-4207232. Informasi detail acara dapat diakses di
www.dipansenja.blogspot.com.

Bagi yang berminat mengakses makalah yang telah diberikan dapat mendaftar ke:
workshopbuku@yahoogroups.com, dengan mengirimkan email ke workshopbuku-subscribe@yahoogroups.com. Makalah untuk nonpeserta baru akan dipublikasikan setelah pertemuan terakhir (26 Agustus 2009).

“Penulis adalah pemikir, dan pemikir adalah ia yang selalu gelisah melihat berbagai fenomena di sekelilingnya. Berpikir untuk selalu keluar dari bingkai mungkin bisa dibilang sebagai cara berpikir “memberontak”, melawan arus. Tapi, ingatlah, hanya ia yang berani melawan arus yang akan menemukan mata air”. Acep Iwan Saidi (penulis).


Tuliskan Apa yang Anda Pikirkan




TULISKAN APA YANG ANDA PIKIRKAN
Resume Pertemuan Pembuka dan ke-1
Pelatihan Menulis Ilmiah & Ilmiah Populer 2009
Balepustaka, Bandung, 1 Juli 2009
Pelatihan yang diperkirakan akan dihadiri sekira 30 peserta namun hingga saat detik-detik registrasi ulang, peserta kian membludak hingga hanya menyisakan 17 kursi di ruang Auditorium Balepustaka. Total peserta yang hadir 53 orang dari berbagai latar belakang profesi mulai dari mahasiswa S-1, S-2, guru, PNS, dosen, dokter, pustakawan, peneliti, editor, penulis, dan psikoterapis. Peserta mulai hadir berdasarkan anjuran panitia untuk registrasi ulang sebelum pukul 15.00 WIB sambil menikmati area bazzar dari berbagai penerbit.
Pelatihan ini didukung oleh fasilitas gedung yang memadai dan penawaran menarik dari panitia penyelenggara berupa pemberian 50 buku gratis dan kartu anggota perpustakaan gratis kepada peserta.
Pembukaan pelatihan ini langsung disambut baik dan dibuka secara resmi oleh Yulianus Ruchiyat sebagai Sekretatis Dewan Karya Pastoral. Dalam pembukaanya, Bapak Ruchiyat menjelaskan ungkapan terbuka dan menyambut baik segala kegiatan yang dilaksanakan oleh Balepustaka tanpa melihat latar belakang agama. Selain itu mempromosikan Balepustaka yang bertujuan sebagai perpustakaan plural yang kegiatannya diutamakan untuk terus membuat jaringan kegiatan intelektual.
Materi pembuka dengan topik Hasrat terhadap Pengetahuan dan Penulisan Ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Unpar.
Menurut budayawan sekaligus kritikus seni dan sastra ini, pengetahuan sebagai sistem maupun hasrat bahkan kegilaan, kerinduan, kerakusan terhadap pengetahuan dapat berfungsi sebagai suprastruktur dasar yang memungkinkan segala hal berkembang seperti yang terjadi di negara-negara maju. Di Indonesia hasrat terhadap pengetahuan itu teramat rendah. Bahkan sebagai sistem, keilimiahan masih sekadar basa-basi.
Kultur ilmiah di universitas-universitas besar mungkin sudah mulai terbentuk, namun di universitas yang baru muncul belakangan ini masih mengutamakan sisi bisnis. Bahkan kita terkecoh oleh iklan-iklan besar dengan membangun citra yang tampaknya dahsyat dengan bermacam-macam ranking, namun ketika masuk umumnya gombal juga, tradisi ilmiahnya masih tipis.
Permasalahan utamanya berasal dari dasar pengetahuan yang belum menciptakan atmosfer intelektual dan hal ini menjadi latar mengapa budaya baca, budaya tulis menulis ilmiah masih merangkak.
Melihat kultur ilmiah di Barat, sesungguhnya kita sudah tertinggal sangat jauh, jika diambil dari abad pencerahan sudah tertinggal 400 tahun! Kultur pengetahuan cerahan yang meledak pada abad Pencerahan, sebetulnya bahkan sudah dimulai pada zaman Yunani, sekitar 2500 yang lalu. Dengan melihat kenyataan ini sudah saatnya kita bukan lagi mengejar tapi harus sudah melompat.
Pemateri mengungkapkan kelemahan-kelemahan kinerja ilmiah/intelektual di Indonesia. Dalam makalah dikemukakan 9 masalah kinerja ilmiah di Indonesia di antaranya terlalu biasa berimprovisasi (itu pun berdasarkan ‘dengar-dengar’ saja, atau ‘kata orang’) atau kecenderungan simbolisme dangkal: yang penting kesan intelektual (dengan menggunakan istilah gagah sembarangan dan pengutipan yang sembrono).
Ada enam Karakter Umum Keilmiahan diungkapkan pemateri di antaranya metodis dan sistematis serta dapat dites secara obyektif dan intersubyektif.
Tiga Sasaran Ideal Peneletian di antaranya mencari kemungkinan-kemungkinan dan terobosan baru menghayati realitas dan menangani masalah agar lebih manusiawi/ lebih rendah.
Di akhir materi, Guru Besar Filsafat Unpar ini memaparkan perlunya pengembangan hasrat pengetahuan. Pemateri meyebutkan 9 point di antaranya melihat knowing sebagai doing bukan sekadar receiving. “mengetahui” adalah soal ‘melakukan’, yaitu: membaca, menulis, berdebat, mencari, dst. Selain itu biasakan menghadapkan diri kepada konsep/pendapat yang asing, yang sekilas seperti tak masuk akal namun seperti ada benarnya. Ini akan merangsang eksplorasi kita.

Dunia Menulis dan Menulis Dunia
Dalam kesempatan pemberian materi ini, Pak Yas demikian panggilan bagi Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A, budayawan dan pakar semiotika ini sungguh sangat detail dan sistematis. Pemberian materi dikemas ke dalam makalah yang sudah diformat seperti buku dan paparan melalui media infokus dengan bagan dan gambar yang mudah dipahami peserta.
Pak Yas mementingkan kemampuan para penulis untuk dapat ‘mengatur diri’nya sendiri dalam menulis. Problem menulis berdasarkan pengalaman pemateri pada saat ia menerima mahasiswa bimbingan S-2nya. Ketika diminta untuk menyerahkan proposal penelitian ilmiah setelah tiga bulan sejak konsultasi awal, sang mahasiswa malah memberikan hasil nihil. “Sudah ada dalam pikiran saya, namun susah menuliskannya, Pak.”, demikian alasan sang mahasiswa. “Problem saya tidak bisa menuliskan kalimat pertama”. Setelah berkonsultasi Pak Yas menanyakan apa yang ada dalam piker Anda hari ini tentang penelitian Anda. Lantas, sang mahasiswa dengan lancar menjawabnya. “Nah itu! Tuliskan sebagai kalimat pertama Anda”, tegas Pak Yas. “Setelah itu tuliskan apa yang kita pikirkan”. Setelah itu, hanya dalam waktu seminggu kemudian sang mahasiswa dapat menyelesaikan proposal penelitiannya. “Meski masih kacau”, papar Pak Yas. Namun tidak menjadi masalah, karena setelah itu tugas selanjutnya adalah menata tulisan itu menjadi lebih sistematis.
Selama 1, 5 jam, pemateri memaparkan dalam bagan yang sangat mewakili peta masalah sesungguhnya, seperti bagaimana hubungannnya antara perbedaan gaya, perbedaan format, perbedaan horizon, dan perbedaan metode menulis. Bagan lain kita juga dapat memahami ada di mana saat kita menulis tulisan ilmiah, reportase, fiksi (puisi, prosa) melalui bagan hubungan antara wacana akademik, budaya literasi dan dunia literasi. Beberapa istilah yang sulit dapat dijelaskan dengan mudah dan bahasa yang sederhana.
Point-point yang disampaikan dalam makalahnya yaitu bagaimana membangun dunia literasi, pemahaman wacana akademik, pengertian menulis mirip dengan mendesain, membaca itu memproduksi ide, pengetahuan akan konsep, hubungan antara menulis dan kreativitas, menulis dan merepetisi, intertekstualitas, teori dan kritik, neologi, framing, menulis dan seduksi, bagaimana mengamankan ide supaya tidak hilang lewat Jaringan Pengaman Ide (JPI), pentingnya dunia metaphor, serta masih, self-deconstruction, dan peran potensi bahasa.
Kedua materi yang disampaikan rupanya mampu menyedot rasa keingintahun dan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat pengetahuan, menulis dan informasi literer dari para peserta. Materi ditutup tepat pada pukul 18.30 WIB.
Bagi yang berminat mengikuti pelatihan ini dan jika ingin mengakses makalah yang telah diberikan dapat mendaftar ke:
workshopbuku@yahoogroups.com, dengan mengirimkan email ke workshopbuku-subscribe@yahoogroups.com.
Pelatihan ini masih terbuka hingga pertemuan ke-8 (26 Agustus 2009) yang diselenggarakan setiap Rabu sore di Perpustakaan Balepustaka, Jln. Jawa No. 6. Informasi pendaftaran: 022-4207232.
Semoga bermanfaat.

Salamhangat,

Deni Rachman
Konsultan Program Literer


Tuesday, December 19, 2006

Wiro, Pendekar Sableng yang Gendeng
oleh: Doni Slamet R

PENDEKAR 212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan. Pukulan sakti yang hendak dikeluarkannya adalah Segulung Ombak Menerpa Karang, dengan pengerahan tenaga dalam setengah dari yang dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh lima. Dua kaki tegak merenggang. Dua tangan perlahan-lahan diangkat dari arah pinggang ke atas batu hitam, tepat pada bagian yang diperkirakannya merupakan pintu rahasia.

"Wuttttt! Wutttt!"
"Bummm! Bummm!" Dinding batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti menyebabkan gelegar panjang di dalam jurang. (Misteri Pedang Naga Suci 212, 45)

Itulah salah satu pukulan maut yang dimiliki pendekar 212 Wiro Sableng. Walau namanya sableng, kesaktiannya sangat tinggi. Dengan gayanya yang sableng, Wiro berkelana dalam dunia persilatan yang diciptakan sang pengarangnya.

Bastian Tito, itulah nama pengarang novel silat Wiro Sableng yang melegenda. Gaya khas dari Wiro adalah selalu saja dia ketawa santai sambil garuk-garuk kepalanya. "Hik... hik". Pakaian silat warna putih dengan ikat kepala putih adalah pakaian khasnya. Di punggungnya selalu terselip sebuah senjata berupa kapak sakti. Kapak Naga Geni 212, demikian nama senjatanya. Angka 212 merupakan angka yang menjadi sakti baginya, selain di bilah kapaknya, angka 212 juga tertulis di dadanya yang kekar....

Masih banyak lagi yang khas dari sosok pendekar 212 ini. Begitu kental dan sangat khas membuat saya ingat terus hingga sekarang, padahal sudah 20 tahun yang lalu saya keranjingan membaca serial ini. Novel serial silat Wiro Sableng menjadi buku yang merangsang saya untuk gemar membaca. Setiap bulannya saya pasti berusaha membeli buku itu, kalau tidak salah hanya Rp 1000,00.

Kenapa merangsang? Karena setelah sering membaca serial silat Wiro Sableng, saya jadi gemar membaca buku yang lainnya, termasuk membaca buku wawasan tentang Marxisme, pemikiran liberal, tentang Islam kanan dan Islam kiri, sastra, dan lain-lain. Serial Wiro Sableng 212 mengajarkan saya untuk berjuang mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti Wiro yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan gayanya yang sableng.

Kembali ke serunya cerita silat sang pendekar 212, salah satu yang membuat saya bisa menikmati ceritanya adalah latar belakang budaya Indonesia yang kental. Selain itu, ceritanya pun sangat mudah dicerna, apalagi nama tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita itu selalu saja kocak dan mudah diingat. Misalnya saja Dewa Penidur. Walau kerjaannya tidur, tapi kesaktiannya sangat tinggi. Yang lucu, dia terbangun kalau mau berkelahi. Setelah selesai, dia akan tidur lagi hingga ngorok.

Begitu juga dengan Dewa Tuak, seorang kakek yang ke mana-mana selalu membawa minuman keras berupa tuak dalam sebuah kendi. Di mana pun dan kapan pun, dia selalu mabuk, begitu juga dengan kesaktiannya dan ilmu silatnya seperti orang yang mabuk berat. Walau lemah tak beraturan seperti orang yang mabuk, tenaga dalamnya sangat tinggi sehingga sekali pukul, tenaganya yang dahsyat dapat membuat lawan terpelanting. Ada lagi Setan Ngompol, pendekar yang kerjaannya ngompol seperti bayi. Bau pesing yang menyengat dari pakaian yang dikenakanya menusuk hidung siapa saja yang ada di dekatnya.

Jurus yang dimiliki sang pendekar pun lucu. Coba saja jika Wiro Sableng mengeluarkan jurus kunyuk melempar buah. Perangai atau tingkah laku Wiro Sableng akan seperti seekor monyet yang sedang melempar buah-buahan.

Wiro Sableng merupakan murid nenek Sinto Gendeng. Namanya memang gendeng, begitu pun dengan perangainya yang gendeng, Namun di balik kegendengannya itu, kesaktian yang dimiliki nenek tua ini sangat tinggi.

Jika membaca kisah silat Wiro Sableng, kita akan terperangah dengan keunikan jumlah halaman pada setiap bukunya yang selalu berjumlah 112 atau 128 halaman. Jangan kaget kalau kita tiba-tiba ketawa atau ikut garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Hik... hik," seperti perangai si Wiro yang tetap sableng.
(Doni Slamet R., distributor dan pengelola toko buku surat_tea@yahoo.com.au, pernah dimuat di Pikiran Rakyat suplemen Kampus 14 Desember 2006)
***

Metamorfosis Kertas
oleh: Sigit Susanto

SCHOPENHAUER berkata, "Membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain." Akan tetapi, Nietzsche justru berseberangan dan berargumen, "Orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi."

Lepas dari dua perbedaan pandangan di atas, tetap saja kehadiran buku menjadi sangat penting bagi sebuah peradaban manusia yang selalu berubah ini.

Ketika kita sedang tertatih-tatih menulis karya dan mencoba mengirimkan ke penerbit, agar bisa diterbitkan menjadi buku, di belahan Eropa sudah mulai menerbitkan buku dalam bentuk CD, yang di negeri berbahasa Jerman disebut "Buku Dengar" (Hvrbuch). Sebab itu, calon pembaca yang masuk toko buku atau perpustakaan dihadapkan oleh dua pilihan: akan membaca karya sastra dengan buku atau mendengarkan karya sastra lewat CD?

Bahkan, suara dalam CD tersebut tak jarang dari suara pengarangnya sendiri. Misalnya, G'nter Grass, sastrawan Jerman ini punya tenor yang bagus, sehingga novel-novelnya dengan ketebalan sekira 500 halaman, bisa didengarkan dalam beberapa jam saja. Tak hanya menghemat waktu, tapi bisa mendengarkan suara pengarangnya sendiri. Tapi tentu saja tidak semua pengarang mempunyai suara yang bagus.

Nah, dengan merebaknya karya dalam bentuk CD ini, mulai muncul pekerjaan baru bagi pembaca karya-karya sastra. Peralihan karya sastra dari bentuk buku ke dalam rekaman CD, Grass dalam sebuah wawancara mengatakan, "Bagi saya, sastra itu awalnya berbentuk oral. Sebelum ditulis, hanya diceritakan secara lisan. Di negara-negara Arab masih berjalan tradisi cerita oral ini. Misalnya, di kota Marrakesch di Maroko. Ada sebuah alun-alun dan orang-orang duduk melingkar untuk mendengarkan cerita dari sang pencerita. Homer lah yang memulai membukukan dari cerita oral itu."

Menyimak pendapat Grass di atas, sebetulnya terobosan karya dalam bentuk CD alias oral ini, bukanlah hal yang baru. Penerbit "buku dengar" di Eropa, hanya meniru dari tradisi lampau. Yang membedakan, usia sang pencerita, tentu berbeda dengan usia CD. Bila tak terjadi proses peralihan keahlian bercerita, sebuah kisah akan lenyap. Sedang CD tetap bisa disimpan di tempat yang aman.

Baik karya dalam bentuk buku atau CD, intinya sama-sama menjadi jendela manusia melihat dunia. Dunia tidak sebatas kampung halaman, namun bisa menerobos wilayah negara, bahkan benua. Dunia tidak sebatas idiologi marhenis, tapi bisa mencakup anarkis atau trotzkis. Dunia tidak seluas saminisme, tapi bisa melebar ke globalisasi. Dunia bukan selebar ladang kacang dan kangkung, tapi bisa menyimak lahan gandum serta zaitun.

Lalu, bagaimana cara mendapatkan buku? Seiring merebaknya usaha penerbitan, munculnya banyak toko buku serta berdatangan penulis baru, perlu ditunjang sarana perpustakaan untuk umum. Konon di Jepang, yang pertama dibangun bukan universitas, melainkan perpustakaan. Di Kuba, Castro memberikan instruksi, agar setiap kantor, bahkan hotel mempunyai perpustakaan mini yang mengacu pada idiologi sosialis. Umberto Eco, pada bukunya berjudul "Perpustakaan," (Die Bibliothek) menyebutkan, "Pada zaman kaisar Konstantin di Roma, sudah terdapat 28 perpustakaan.

Usaha yang ideal adalah mendirikan toko buku yang dilengkapi fasilitas perpustakaan. Dengan asumsi pemasukan dari toko buku bisa menunjang kelangsungan perpustakaan. Dalam hal ini, bisa diambil contoh toko buku "Shakespeare & Co" di Paris. Toko buku legendaris yang didirikan oleh perempuan Amerika, Sylvia Beach ini menjual buku berbahasa Inggris dan dilengkapi perpustakaan umum.

Siapa mengira, kalau Hemingway muda saat belum terkenal kala itu tekun menjadi langganan peminjam buku di perpustakaannya. Siapa menyangka, atas keberanian Sylvia Beach novelnya James Joyce "Ulysses" berhasil diterbitkan pertama kalinya. Padahal toko buku itu amat sederhana dan kecil. Namun bila orang berbicara sastra Prancis pada tahun 1920-1930-an, nama toko buku "Shakespeare & Co" ikut andil besar di dalamnya.
(Sigit Susanto, penulis sekarang tinggal di Angelgese, Swiss. Menjadi moderator tetap di milis apresiasisastra@yahoogroups.com dan "mahasiswa" membaca bersama karya sastra James Joyce,pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 7 Desember 2006)
***

Jadi Distributor BukuDari Mana Kita Memulai?

ADA ribuan judul buku yang terbit setiap tahun. Bagaimana caranya untuk sampai ke tangan konsumen? Kurang lebih di sinilah peran para distributor buku. Namun, seberapa besar peluang menjadi distributor buku dan dari mana kita memulainya?

Dalam rantai perbukuan, sejatinya posisi distributor buku berada di tengah-tengah antara penerbit dan toko buku (lalu berujung ke konsumen). Dibanding posisi yang lain, menjadi distributor buku boleh dibilang relatif lebih "enak". "Dengan modal kecil, bahkan tanpa modal, kita bisa menjadi distributor," kata Rudi, Kepala Distribusi Regional 2 Mizan Media Utama dalam Workshop Buku "5 in One", Kelas Distributor Buku di Perpustakaan Bale Pustaka, Sabtu (25/11).

Meski mudah karena minim modal, dalam menjalankannya tidak sesederhana itu juga. Yang penting untuk diperhatikan adalah membangun peta jaringan distribusi. Distributor buku harus tahu bagaimana proses kerja sama dengan toko buku dan penerbit. Kerja membangun jaringan awalnya mungkin tidak mudah. Namun, jika sudah dilakukan dengan baik, selanjutnya ini justru akan mempermudah pekerjaan. "Jaringan harus dibuat seefektif mungkin sehingga biaya-biaya yang keluar dapat seefisien mungkin," kata Rudi, yang sudah 12 tahun menjadi distributor buku.

Bicara bisnis perbukuan, menurut Rudi, peluang untuk berkecimpung di dalamnya masih terbuka lebar. Salah satu indikator, misalnya, perkembangan toko buku masih sedikit. Pemainnya masih itu-itu saja, yaitu toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung, dan beberapa toko buku besar lainnya yang notabene mapan.

Di sisi lain, toko-toko buku di luar yang mapan itu tadi (kerap disebut "alternatif"), banyak juga bermunculan di Bandung. Dalam kaitannya dengan peran distributor buku, hal ini bisa menjadi peluang tersendiri.

Selain ke toko buku, Rudi malah menyodorkan ide untuk mendistribusikan buku ke factory outlet atau kafe yang marak di Bandung. Toh, banyak orang "berduit" di sana. Bahkan, juga pesantren, selain sekolah umum lainnya. Intinya, inovatif agar tidak mati.

Kawan Kampus ada yang berminat? Rudi memberi sedikit tips. Datangi saja penerbit dan ajukan diri untuk menjadi distributor buku. Misalnya, untuk di lingkungan kampus. Jangan lupa beri tahu kalau kawan Kampus siap dengan laporan rutinnya. "Selain itu, kalau perlu buat bazar buku sendiri," katanya.

Soal keuntungan, dituturkan Rudi, distributor buku seringnya hanya bisa mengambil sedikit. Belum lagi repotnya urusan tagih-menagih (tunggakan) di sana-sini. Namun demikian, baginya bisnis buku memang berbeda dengan bisnis lainnya. Ada niat membangun intelektualisme di sana. "Bisnis buku sama dengan membangun peradaban," katanya.

Workshop dengan peserta sekira 20-an orang ini adalah yang kedua kalinya digelar oleh agen literasi Dipansenja, setelah workshop pertama untuk kelas toko buku beberapa waktu yang lalu. Workshop gratis ini diadakan setiap Sabtu, tanggal 25 November-16 Desember 2006. Tema dan narasumber berbeda setiap minggunya dan kemasan acara berbentuk diskusi/sharing.

Kegiatan workshop distributor buku ini akan disusul dengan workshop penerbitan (periode ketiga), workshop perpustakaan/taman bacaan (periode keempat), dan workshop penulisan/pascanaskah (periode kelima). Tujuannya, tak lain untuk membentuk jaringan perbukuan yang sehat. Bukan apa-apa. Semua lini kegiatan perbukuan sebaiknya solid karena kalau satu mandek, maka semua mandek. Informasi seputar workshop ini dapat diakses melalui milis workshopbuku@yahoogroups.com.
***

dewi irmakampus_pr@yahoo.com, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen kampus 30 Nopember 2006

Catatan dari Paris- Membaca Adalah Keniscayaan
oleh: J.J. Kusni

MASALAH minat baca membuat kenanganku sebagai seorang pelanglang buana, melayang ke berbagai negeri yang kebetulan pernah kusinggahi, seperti Republik Rakyat Tiongkok [RRT], Prancis tempat saat ini aku tinggal, dan Indonesia sendiri tentu saja.

Aku berada di RRT pada masa berlangsungnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP, Wen Hua Da Qemin). Pada masa itu, aku melihat anak-anak kecil berdasi merah --dinamakan pionir, kemudian disebut Hong Xiaoping (Prajurit Merah Kecil), sambil berjalan di trotoar atau di kendaraan umum-- asyik membaca. Buku-buku tak lepas dari tangan mereka.

Orang-orang dewasa di angkutan umum atau taman-taman, juga tampak berbuat demikian. Buku-buku sastra yang baru terbit seperti Ouyang Hai, "Nyanyian Remaja", dan lain-lain, segera saja habis terjual sekalipun telah dicetak dalam jumlah jutaan. Apalah arti angka jutaan bagi negeri berpenduduk satu miliar lebih dengan minat baca demikian?

Ketika bekerja kembali di Indonesia, selama beberapa tahun sebagai pengajar di sebuah universitas, aku menyaksikan keadaan yang berbeda lagi. Perpustakaan daerah dan universitas sepi pengunjung. Agar para pendengar mudaku mau membaca dan tidak menggunakan dalih tidak mempunyai buku, maka untuk mereka kufotokopi buku-buku pegangan dengan biaya dari kantongku sendiri.

Sampai pada saatmendiskusikan beberapa kertas kerja yang kuharapkan, ternyata masih saja mereka tidak membaca dengan baik bab-bab yang kutentukan. Kertas kerja-kertas kerja yang mestinya dikumpulkan dan dibicarakan, tidak sedikit yang belum ditulis. Minat baca yang kulihat di RRT demikian berkembang, asing dari tempat di mana aku mengajar. Membaca seakan tidak dirasakan sebagai suatu keperluan mendesak. Termasuk oleh mereka yang sedang belajar di sekolah-sekolah. Pelajaran apa yang didapat dan dikuasai jika hanya bersandar pada mendengar kuliah sang guru selama satu dua jam sebagai pendengar pasif?

Tiba di Prancis, di mana aku memulai pendidikan tinggiku dari awal, aku mengalami langsung bagaimana kemudian membaca buku ini merupakan suatu keniscayaan. Kuliah hanyalah pengantar pembuka pikiran tentang tema-tema pilihan, di samping mengetengahkan serta menjelaskan teori-teori baru sang profesor. Berhasil tidaknya studi, kemudian banyak ditentukan oleh kegiatan para mahasiwa/i itu sendiri. Membaca dan menulis tidak terpisahkan. Di tingkat-tingkat awal, kita diwajibkan membaca 6-7 buku per minggu atau dua minggu, serta diwajibkan membuat ikhtisarnya. Kegiatan begini tidak hanya dilakukan di tingkat perguruan tinggi, tetapi dimulai sejak dini.

Ketika anak-anak masih di tingkat sekolah dasar, pada hari-hari tertentu mereka diajak oleh para guru mereka ke museum atau ke tempat-tempat bersejarah sambil bermain. Setelah itu mereka disuruh oleh para guru menuliskan kesan-kesan mereka, bahkan menyampaikan kesan-kesan itu secara lisan di depan kelas. Dengan cara ini, anak-anak dibiasakan menulis dan mengungkapkan diri secara bebas. Seusai libur panjang mereka pun ditagih oleh para guru untuk menuliskan dan menuturkan pengalaman liburan panjang mereka.

(J.J. Kusni, penulis dan pemerhati buku, tinggal di Paris, email: meldiwa@yahoo. com.sg, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 23 Nopember 2006)
***

Cinta Dalam Cerita
oleh: Ragil Romly

NAPAS saya mengalir mengikuti alur kisah The Thief of Baghdad. Sebuah teater berlatar Bagdad tercipta di kepala saya. Kombinasi huruf yang tercetak di lembaran kertas menjadi perkakas yang merekonstruksi imajinasi saya.

Saya kemudian larut dalam cerita cinta Ahmad, si pencuri Bagdad yang berjuang untuk membuktikan cintanya kepada putri Zubaidah.

Sejenak kemudian saya menarik napas dalam-dalam, menahannya, dan membiarkan udara mengisi jantung saya untuk kemudian mengalir bersama darah menuju kepala saya. Otak saya membutuhkan cukup oksigen untuk kembali membangun theater of mind agar saya mampu bertahan hingga akhir cerita.

Terlintas kembali di kepala saya beberapa judul film atau buku yang menghadirkan sensasi yang sama ketika saya membaca buku atau menonton film. Rangkaian cerita cinta dalam "Laila Majnun", "Ayat-ayat Cinta", Romeo and Juliet, City of Angels, Ghost, Titanic, Ca Bau Kan, dan Forest Gump, adalah kisah lain yang membuat saya diam sejenak di akhir cerita.

Saya tidak tahu kata-kata atau kalimat apa yang harus saya keluarkan untuk mengapresiasi cerita cinta yang tertuang dalam buku atau film tersebut. Diam kemudian menjadi satu-satunya bahasa saya ketika saya mengekspresikan cerita cinta dalam film dan buku tersebut.

Lalu, dalam Shakespeare in Love saya melihat bagaimana seorang William Shakespeare memulai projek cerita cintanya. Ia berempati dalam fiksi yang ditulisnya. Ia memasukkan realitas dan mimpi ke dalam fiksi, hingga akhirnya cerita "Romeo dan Juliet" menjadi cerita cinta sepanjang masa. Cerita cinta yang usianya kini lebih tua daripada pujangga cinta yang menulis cerita cinta tersebut.

Kenapa harus cinta? Mungkin karena cinta adalah sebuah rasa yang senantiasa mengisi kehidupan manusia. Perasaan unik manusia yang membuatnya istimewa. Yang membuatnya mampu bercerita untuk memaknai sebuah kehidupan. Sebuah rasa yang membuatnya memiliki kebijaksanaan yang berbeda. Hingga ia menjadi khalifah di muka bumi yang bersandar pada cinta yang tumbuh dari kombinasi rasio dan emosi.

Dalam cerita yang dijalani sehari-hari, manusia dianugerahi rasio dan emosi untuk memaknai sebuah cinta. Bahasa cinta dalam setiap cerita memiliki makna yang berbeda-beda. Ketika saya sakit, mungkin saya dapat berempati terhadap kisah cinta seorang dokter kepada seluruh pasiennya dalam film Patch Adam. Ketika saya merindukan cinta seorang kakak, mungkin saya akan berempati dengan kisah cinta Children of Heaven. Ketika saya merasakan getaran cinta karena menyukai seorang wanita, mungkin saya menjadi sangat melankolis sehingga mampu berempati dengan cerita cinta yang sangat emosional seperti cerita Ghost, City of Angels, Titanic, Romeo and Juliet, atau Ca Bau Kan. Cinta yang kemudian membuat seseorang mampu menembus batas-batas rasional dan meruntuhkan sekat-sekat suku, ras, dan budaya.

Saya ataupun kita semua, kemudian bisa mendadak menjadi seorang pujangga yang mampu merangkai cinta dalam bentuk cerita untuk diekspresikan, dikisahkan, diapresiasi, lalu dimaknai ketika kita menyimbolkan cinta dalam wujud cerita dan kata-kata.

Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa saya jatuh cinta pada kehidupan. Oleh karena itu, saya membuat cerita dan menyusun kata untuk merangkum dan memaknai kehidupan. Menaknai fiksi dan fakta dengan sebuah cerita cinta.

Karena baik fiksi maupun fakta, cerita cinta sejati senantiasa menjadi cerita yang mampu membuat saya--atau mungkin juga Anda-- menahan napas untuk sekadar memaknai manusia, emosi, jiwa, dan kehidupannya.
(Ragil Romly, relawan fiksi Forum Lingkar Pena Jatinangor, raliesta@yahoo.com, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 16 Nopember 2006)
***

Wednesday, November 15, 2006

Melesatkan Ide Cerita Novelmu
oleh : wiku baskoro

TERLALU banyak ide untuk sebuah cerita yang hendak dituliskan, sering kali tidak membantu kita untuk memulai menulis novel. Kita justru merasa kewalahan dan tidak dapat memilih, tokoh mana yang menjadi sentral cerita, setting mana yang akan dipilih dan ending seperti apa yang akan ada di akhir cerita, karena semuanya terasa menyenangkan. Namun, ide cerita tetaplah sebuah unsur penting dalam penciptaan sebuah novel. Berikut beberapa saran agar ide cerita bisa dipergunakan secara maksimal.
Pengumpulan ide

Banyak hal yang bisa membangkitkan ide cerita dalam pikiran kita, entah itu nyata atau khayalan. Yang perlu dilakukan adalah membuka mata, mendengarkan dan menjadi lebih peka. Pikirkanlah sebanyak mungkin ide cerita, jaringlah ide sebanyak mungkin karena memang dunia ini dipenuhi banyak inspirasi. Jangan takut jika ide cerita kita tidak orisinal, jangan pikirkan itu. Tampunglah dulu semua ide untuk novel kita. Tokoh, plot, kejadian-kejadian kecil. Semuanya.

Pengelompokan ide

Pada kondisi memerlukan banyak ide cerita, munculnya variasi ide sangatlah membantu. Namun, ketika kita dalam suasana menulis sebuah novel yang sedang berjalan 50 halaman, kemudian berbagai ide cerita menghampiri, maka kesulitan utama adalah ide cerita mana yang akan dipilih. Maka dari itu, semua ide cerita yang telah kita kumpulkan melalui pengamatan, lamunan, baca, dan menonton film, harus dikelompokkan.
Buatlah daftar semua ide itu dan kelompokkan menurut kategorinya. Untuk plot, semua ide cerita tentang plot dikelompokkan dalam satu catatan. Demikian juga dengan ide untuk tokoh, setting, percakapan, dan detail lain.

Catatan

Hal terpenting dari semua itu, tentu adalah catatan. Tanpa benda yang satu ini, terkadang ide cerita sehebat apa pun tidak akan kita ingat di kemudian hari ketika kita benar-benar memerlukannya. Maka, catatlah semua ide cerita yang telah terkelompok dalam sebuah catatan khusus, sehingga kita dapat dengan mudah mencari, membaca kembali ide-ide apa yang bisa kita gunakan dalam novel.

Membaca

Saat menghadapi writer's block atau kebuntuan menulis, kita dituntut untuk sekreatif mungkin mencari cara menghadapinya. Salah satu cara yang ampuh adalah membaca, terutama karya-karya yang kita minati. Bisa membaca ulang atau re-reading, bisa juga membaca bacaan yang belum pernah kita baca.

Banyak hal yang bisa dipelajari karya orang lain, terutama cara pandang si penulis terhadap suatu permasalahan, dan tentu saja plot, lalu gaya bahasa penulis lain juga bisa menjadi bahan yang memperkaya pengetahuan kita.

Diskusi

Dua kepala lebih baik dari pada satu. Pada beberapa kondisi pernyataan ini sangatlah tepat, begitu pun dengan proses menulis. Sebuah diskusi mengenai suatu plot, tokoh bahkan setting akan membuat pandangan kita terhadap suatu ide cerita menjadi lebih kaya. Dapatkan seorang teman, atau bahkan lebih, untuk mediskusikan ide cerita dan rencana-rencana apa yang akan kita lakukan pada novel kita. Namun tetap, kendali penuh dan keputusan pilihan ide ada pada diri penulis. Jangan pernah terlalu terpengaruh pada pendapat orang lain, jadikan semua itu sebagai masukan, bukan suruhan.

Ke semua saran di atas tentu akan kembali kepada kita, sebagai kreator tokoh dan cerita. Tips-tips menulis mungkin bukan hal terpenting. Tanpa kemauan yang kuat dan daya tahan, menulis akan sangat menyiksa. Namun jika kita menikmati segala proses, termasuk juga kebuntuan dalam menulis, rasanya segala usaha nantinya tidak akan pernah sia-sia. Ok, Selamat menulis!
***
(Wiku Baskoro, penggiat Dipansenja literacy agent, www.dipansenja.blogspot.com.)

"Menemukan" Lagi Masa Kecil
oleh : Kandi Sekarwulan

SEMUA dimulai dari bisik-bisik teman kuliah tentang sebuah toko buku. Tampilannya seram, hitam-hitam, bahkan katanya ada buku untuk pemujaan setan (belakangan saya tahu judulnya Satanic Verses karangan Salman Rushdie, sama sekali bukan buku macam itu). Karena penasaran, jadilah saya datang ke sana.

Sungguh tak terduga apa yang saya dapatkan. Di tengah tumpukan buku sastra-filsafat (apalah itu), terselip sebuah novel dengan sampul manis, Water Babies. Agak heran, saya membacanya sekilas. "Ibu Memperlakukan-Sebagaimana-Kau-Diperlakukan?"

Nama tokoh itu terasa akrab. Saya terkejut, teringat masa bertahun-tahun lalu tentang Bayi Air, cerita bersambung kesukaan saya di sebuah majalah anak-anak. Cerita itu tidak pernah selesai saya baca, karena berhenti berlangganan majalahnya. Astaga, apa ini cerita yang sama? Tergesa-gesa saya merogoh dompet, membawa buku itu pulang.

Setelah penemuan pertama, petualangan nostalgia buku pun berlanjut. Saya mencari ke mana-mana: toko buku alternatif, kios buku bekas, pameran buku, perpustakaan umum. Berbagai buku saya peroleh --kebanyakan buku bekas-- favorite saya waktu masih kanak-kanak, yang kebanyakan sudah hilang atau rusak berat.

Saya kembali merasakan asyiknya hidup mandiri seperti Peggy bersaudara di "Pulau Rahasia", indahnya gaun Vasilissa, dan pilunya "Kicauan Murai dari Negeri Cina". Saya diingatkan lagi pengalaman saya sakit kekenyangan karena ingin menyaingi Pak Kudanil dari "Dongeng Binatang", yang makannya tambah sampai empat kali.

Ada yang berubah ketika membaca kisah-kisah itu. Jika dulu sebuah cerita saya baca dan lupakan begitu saja, kini cerita yang sama membuat saya merenung lama. Saya jadi suka membanding-bandingkan tulisan pengarang ini dan itu, apa maksud dia menulis begini dan begitu, karena saya mengikuti kuliah tentang gaya penulisan.

Kini, saya lebih paham bahwa cerita-cerita sering mengandung nilai yang berbeda dan tidaklah perlu menuruti semua --sesuatu yang sering membingungkan waktu masih anak-anak. Setelah membaca, kembali saya tersadar di balik kepolosan dan kelucuan bacaan masa kecil, ada makna mendalam yang mungkin memengaruhi pemikiran saya sekarang. Mengalami kembali kisah-kisah itu di masa dewasa memberi saya perspektif yang berbeda, menutup beberapa "lubang kosong" dalam kenangan masa kecil.

Heboh nostalgia

Kini, setelah memiliki perpustakaan buku anak, terbukti bukan hanya saya yang heboh bernostalgia. Bukan satu-dua kali seorang ibu atau mahasiswa terkesiap, lalu dengan mata berbinar berkata "Aduh, ini bacaan saya waktu kecil!"

Seorang teman bercerita, dulu dia mengidentikkan diri dengan tokoh pelukis di sebuah buku. Sekarang, dia memang bukan seniman profesional, tapi saya sangat menyukai gambar-gambarnya. Kisah masa lalu bisa menjadi percakapan seru di perpustakaan, seperti waktu membaca ulang "Deni Manusia Ikan" yang selalu bicara dengan bahasa yang hanya dimengerti makhluk laut. Kami sakit perut menertawakan ungkapan itu, guyonan eksklusif bagi mereka yang lahir tahun 70 - 80-an dan membaca salah satu majalah anak-anak.

Petualangan saya, yang berawal dari sebuah toko buku seram, rasanya belum berakhir. Masih banyak buku anak yang menunggu ditemukan untuk menghadirkan masa lalu, mengembalikan kenangan berharga. Sekali-kali bolehlah menengok ke belakang agar tahu sudah sampai di mana kita sekarang. Kalau ada yang harus saya beri ucapan terima kasih, itu adalah perpustakaan, pameran, toko dan kios buku tanpa mereka, saya akan jadi tua tanpa pernah ingat betapa asyiknya menjadi anak-anak.
***
(Kandi Sekarwulan, pengelola Perpustakaan Anak Pustakalana, email: pustakalana@yahoo.com)

Menjadi Bijak dengan Buku
(Adi Toha, email: jalaindra@yahoo.com)

Berbicara tentang buku-buku yang inspiratif yang bisa memberikan pemahaman hidup kepada pembacanya adalah sebuah hal yang subjektif. Semua buku bisa menjadi sebuah buku yang inspiratif tergantung sejauh mana pembaca menemukan cerminan kisah atau refleksi diri dari buku-buku yang dibacanya. Buku-buku sastra berkelas Nobel Prize atau penghargaan-penghargaan lainnya, baik dalam ataupun luar negeri, bisa menjadi sebuah buku yang inspiratif bagi kita. Tidak menutup kemungkinan, buku-buku sastra pop semacam chicklit dan teenlit, atau buku-buku self-helping pun bisa menjadi inspirasi.

Jika seseorang menanyakan kepada saya, buku-buku apa saja yang inspiratif, saya akan menjawab beberapa judul: The Alchemist karya Paulo Coelho, Solitaire Mystery karya Jostein Gaarder, Les Miserables karya Victor Hugo, Tao Of Physic karya Fritjof Capra, atau Life of Pi karya Yann Martel. Saya akan mencoba memaparkan tiga buku pertama.

The Alchemist, berkisah tentang perjalanan seorang bocah bernama Santiago dalam mewujudkan legenda pribadinya. Saya pikir, semua bookaholic pasti telah membaca buku ini. Ya, benar. Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa diambil dari kisah Santiago: percaya kepada mimpi, mengikuti kata hati, peka terhadap firasat dan pertanda, keberanian untuk mengambil dan menjalani suatu pilihan dsb. Karya-karya Coelho selalu menghadirkan kisah-kisah yang inspiratif, yang bahkan bisa membuat kita tersihir saat menelusuri halaman demi halaman bukunya.

"Saat kau benar-benar menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya". Itulah petuah bijak yang mungkin menjadi kata-kata sakti bagi banyak orang, termasuk saya.

Solitaire Mystery, berkisah tentang perjalanan seorang bocah bernama Hans Thomas bersama ayahnya untuk mencari ibunya. Dalam perjalanan, sang bocah belajar banyak hal tentang dunia dan sejarah hidup dan perjalanannya. Satu hal yang saya dapat dari kisah Hans Thomas, adalah tidak ada yang namanya kebetulan. Peristiwa-peristiwa, sekecil apapun yang dialami dalam hidup kita telah dirangkai sedemikian rupa untuk menuju kepada apa yang harus kita jalani, dan kemana kita akan sampai pada suatu titik dalam kehidupan. Mungkin dalam bahasa Coelho, kebetulan-kebetulan itulah yang namanya pertanda.

Lalu, saya menemukan buku berjudul Les Miserables karya Victor Hugo. Novel ini berkisah tentang kehidupan Jean Valjean, seorang lelaki yang mengalami ketidakadilan di masa lalunya. Perjalanan waktu membuatnya bertemu dengan orang-orang yang menyadarkannya dari dendam atas masa lalunya, sekaligus ia belajar akan arti kebaikan dan kejujuran. Namun, perjalanan waktu pula yang selalu menghadapkan dirinya pada dua pilihan, antara harus berbuat baik ataukah berbuat jujur. Dari Jean Valjean saya belajar bahwa, mau tidak mau, di saat pilihan-pilihan mendatangi kita, kita harus berani untuk menentukan pilihan mana yang akan diambil dan kita harus siap menjalani konsekuensi-konsekuensi atas pilihan-pilihan tersebut.

Suatu ketika, seorang teman pernah bertanya kepada saya, "Manakah yang lebih baik, berbuat baik ataukah berbuat jujur?" Waktu itu saya hanya bisa diam, karena memang saya tidak tahu harus menjawab apa. Kebaikan dan kejujuran adalah dua hal yang berlainan yang hanya dibatasi oleh sebuah sekat tipis yang bernama perasaan. Terkadang, saat kita berbuat baik, di satu sisi kita telah berbuat tidak jujur pada diri kita maupun pada orang lain. Sebaliknya, di saat kita berbuat jujur, di satu sisi kita telah berbuat tidak baik bagi diri kita maupun orang lain.

Dengan menganggap bahwa kisah-kisah dalam sebuah buku merupakan replika dari kehidupan, akan banyak hal yang relevan untuk kita jadikan contoh dan kita jadikan inspirasi dalam perjalanan hidup kita sendiri. Menjadi bijak dengan apa yang kita dengar, apa yang kita lihat dan apa yang kita baca bukanlah sesuatu yang sulit, asalkan kita bersedia untuk membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman yang baru.
***
(Penulis adalah pengelola Toko Buku Cahaya Media, Jatinangor)

Novelis Qaisra ShahrazPakistan dan "Perempuan Suci"
dewi irma kampus_pr@yahoo.com

BESAR di Inggris, tak membuat perempuan ini serta-merta melupakan tanah kelahirannya, Pakistan. Dalam novel berjudul "Perempuan Suci" (The Holy Woman), Qaisra Shahraz tak hanya mengangkat cerita dengan latar Pakistan, tapi juga eksplorasi isu-isu soal perempuan, dari mulai sistem feodal, tradisi patriarkal sampai soal jilbab.

Dalam novel pertamanya itu, dengan terbuka Qaisra mengisahkan tentang perempuan Pakistan, yang meski terbilang berpendidikan tinggi, harus tunduk pada dominasi patriarkal laki-laki yang dianut turun-temurun di sebuah desa di Pakistan.

Adalah Zarri Bano, Muslimah cantik bergelar master, yang belum juga menemukan lelaki idaman, meski banyak yang melamarnya. Ketika suatu saat bertemu dengan Sikander, hatinya terpikat dan cerita cinta pun dimulai. Namun, kematian adiknya, Jafar, mengubah hidupnya 180 derajat.

Sesuai tradisi di daerahnya, anak lelaki adalah pewaris harta dan penerus martabat keluarga. Maka, ketika Jafar tewas, Habib, ayahnya, yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi, memerintahkan Zarri menjadi Perempuan Suci. Jelas, Zarri harus menanggalkan semua mimpi cintanya, karena ia hanya diizinkan menikah dengan Alquran. Selanjutnya, Zarri hanya bisa menyembunyikan segala perang batin dalam dirinya --apalagi ketika menyaksikan Sikander menikahi adiknya-- di balik burqa (jilbab panjang) yang membungkus tubuhnya dan membatasinya dengan dunia luar.

Soal isu jilbab yang diangkatnya, peraih Golden Jubilee Award ini punya alasan. Menurut Qaisra, ada anggapan di Barat bahwa Muslimah tertindas karena dipaksa memakai jilbab. "Anggapan seperti itu tidak benar," kata Qaisra, saat hadir dalam bedah buku Perempuan Suci di Salman ITB, Kamis (5/10).

Selain di ITB, Qaisra juga hadir dalam diskusi bukunya di beberapa tempat, bersama HMJ PPB FIP UPI, Klabbaca Common Room, dan Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), serta beberapa radio, dalam roadshow-nya di Bandung, 5-7 Oktober 2006.

Melalui novelnya, peraih master dalam bidang sastra ini ingin menunjukkan bahwa sekarang ini, kebanyakan Muslimah yang memakai jilbab, atas dasar kesadaran sendiri. Dalam novel ini digambarkan, awalnya Zarri sendiri sempat benci dengan burqa-nya. Namun, berikutnya Zarri benar-benar membutuhkan burqa, merasakan benda itu sebagai kulit keduanya, dan bahkan seperti telanjang jika tidak memakainya.

Qaisra mengisahkan, butuh 3 tahun untuk menyelesaikan novelnya ini. Setelah novelnya keluar, ia menyadari karyanya bisa saja menimbulkan kontroversi. Bagaimana mungkin seorang Muslimah tidak boleh menikah? Tentunya, itu sangat tidak islami.

Seorang peserta malah melontarkan pendapat bahwa novel ini berkemungkinan membuat pandangan Barat terhadap Islam menjadi (semakin) minor. "Bukan seperti itu. Jika kamu membacanya, kamu akan mengerti," kata Qaisra, menjawab pendapat itu.

Qaisra memang tertarik dengan isu-isu yang menyangkut kehidupan perempuan. Soal menikah lagi (remarriage), misalnya. "Lelaki bisa saja menikah lagi dengan mudah, hari ini, bulan ini, tahun ini, dst. Sedangkan perempuan tidak, kenapa?" ungkapnya.

Debut Qaisra dalam dunia literatur dimulai dari cerita pendek. Karyanya banyak mengupas soal isu-isu lintas-budaya dan memberikan gambaran problematika seorang Muslimah yang tumbuh dewasa di Inggris. Cerita pendek pertamanya, "A Pair of Jeans", kini dipelajari oleh siswa Inggris dan Jerman, untuk menelaah kultur Islam di negeri tersebut. Setelah The Holly Woman, Qaisra juga telah menerbitkan 2 novel lainnya.

Kehadiran Qaisra, yang juga penulis naskah untuk radio maupun televisi, tidak hanya berbicara soal novelnya, tapi juga sharing soal kepenulisan. Bagi Qaisra, keep on writing adalah yang terbaik. "Saya juga pernah ditolak. Tapi jangan pernah menyerah," kata Qaisra yang juga seorang dosen.

Pada akhirnya, lewat novelnya ini, Qaisra ingin memperkenalkan Pakistan kepada para pembacanya.
***

Pasar Buku Murah dan Berkualitas
(Liputan di Pikiran Rakyat Suplemen Kampus)

KAWAN Kampus suka membaca, tapi sulit memenuhi kebutuhan itu?
enuhi kebutuhan itu? Sudah bisa ditebak, alasannya karena harga buku semakin mahal. Tapi, kawan Kampus jangan dulu putus asa lalu balik kanan meninggalkan kebiasaan membaca hanya karena harga buku mahal.

Kalau kebetulan kawan Kampus lagi ingin olah raga sambil ngabuburit di lintasan lari Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, spanduk besar di mulut gerbang Sabuga membentangkan tulisan bahwa ada pasar buku murah di lokasi itu.

Dibuka pada 7 Oktober, menghadirkan 24 stan buku, termasuk ada pula stan penerbit besar seperti Gramedia dan Elex Media. Selain menggelar pasar buku, terdapat pula diskusi video dokumenter tiap sore sambil menunggu azan magrib.

Iklan di spanduk itu bukan tipuan. Di pasar buku kawan Kampus akan menemukan buku dengan harga Rp 5.000,00 sampai Rp 10.000,00. Bahkan, penerbit Jalasutra menawarkan sistem paket.

Menurut Nanang, wakil penyelenggara, penjualan buku murah ini memiliki beberapa alasan. Misalnya, buku yang dijual murah karena penerbit sudah mengantongi untung dari penjualan normal dan ada pula karena alasan adanya kemandekan penjualan di pasar.

”Targetnya sih agar buku-buku yang di gudang bisa habis”, kata pengelola toko buku Baca-Baca itu.

Tapi, kawan Kampus jangan langsung menduga buku yang dijual adalah buku bekas yang sudah lecek. Buku-buku yang ada di pasar ini masih dibungkus rapi dalam plastik dan tidak ada halaman yang lecek atau hilang. ”Di sini nggak bakal ditemukan buku-buku dengan kertas yang jelek atau rusak,” ujar Wiku, pengelola toko buku Lawang yang kebetulan pada hari pertama mendapat keuntungan bersih Rp 2 juta.

Alasan lain, yang mendorong para agen dan penerbit menjual buku murah karena ingin promosi. Contohnya, salah satu agen yang datang dari Kota Yogyakarta, Didi. Menurut pengelola toko buku Ombak, penurunan harga bukunya karena untuk menjajal konsumen buku di Kota Bandung.

”Lagi pula, kan saya sudah tidak perlu membayar royalti ke penerbit. Jadi jual murah juga saya masih untung,” kata Didi.

Selain itu, katanya, konsumen juga lebih suka mencari buku-buku berkualitas dengan harga yang murah. Hal itu adalah prinsip ekonomi yang selalu dilakukan oleh konsumen di mana pun. Ingin mendapat hasil seoptimal mungkin dengan modal sekecil-kecilnya.

Sekarang keputusan ada di tangan kawan Kampus. Soal harga murah atau tidak memang relatif. Tentunya sebagai mahasiswa, kawan-kawan masih dihadapkan dengan berbagai ragam kebutuhan. Dari kebutuhan bahan kuliah, bayar kos-kosan, sampai kebutuhan malam mingguan buat kawan yang sudah memiliki pasangan.

Kini, tinggal pintar-pintar memilah antara kebutuhan fisik dengan ilmu pengetahuan. Hanya ingat bahwa buku akan membukakan mata kita melihat dunia lebih luas.
***

agus rakasiwi kampus_pr@yahoo.com

Thursday, October 05, 2006

Seratus Tahun tak Terlupakan

Oleh : Imam Hidayah Usman


Diberitakan pula, bahwa salah satu ruang kelas di Departemen Sastra Universitas Harvard mendadak riuh dengan suara tepuk tangan para mahasiswa, sesaat setelah Profesor Juan Marichal mengabarkan ihwal penghargaan itu kepada isi kelas.

Marquez, menjadi legenda baru yang dipuja begitu banyak kalangan. "Seratus Tahun Kesunyian" (One Hundred Years of Solitude), yang terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol pada 1967 sebagai Cien Anos de Soledad, kemudian dibaptis banyak kritikus sebagai novel terbaik di abadnya. Novel inilah yang mengantarkan Gabito --demikian ia biasa disapa-- menjadi Nobelis.

Di Amerika Latin, terutama di Kolombia dan Meksiko, konon novel ini lebih laris ketimbang Alkitab. Itu memang tanah kelahirannya. Ia lahir di Aracata, Kolombia, pada 6 Maret 1928 (sedang ayahnya lebih yakin kalau ia lahir pada 1927). Ketenarannya melampaui presiden dan hanya bisa ditandingi oleh bintang sepak bola atau ratu kecantikan.

Silvana Paternostro, jurnalis yang sempat berguru pada Marquez, menuliskan dengan sangat apik ketenaran sang maestro, "Namanya muncul di kontes-kontes kecantikan kami sesering nama Paus. Jawaban para kontestan jadi repetitif: Siapa penulis favoritmu? Garcia Marquez. Siapa yang paling kamu kagumi? Ayahku, Paus, dan Garcia Marquez. Siapa yang ingin kau jumpai? Garcia Marquez dan Paus. Bila pertanyaan yang sama diajukan pada jurnalis Amerika Latin, jawabannya bisa jadi sama --kecuali soal Paus barangkali.

Suatu hari di tahun 1995, sekelompok gerilyawan menculik kerabat mantan presiden Kolombia. Tuntutan mereka: Gabriel Garcia Marquez menjadi presiden. Mereka menulis dalam permohonan mereka, "Nobel, tolong selamatkan tanah air!"

Di tahun 1994, saat pertemuan Negara-Negara Non-Blok digelar di Cartagena, Marquez hadir bersama rombongan delegasi Kuba. Saat itu berkembang isu akan terjadi pembunuhan terhadap Fidel Castro, Presiden Kuba. Untuk melindungi Castro, Marquez menaiki delman yang sama dengan Castro dan berdesak-desakkan dengan tiga orang lainnya. "Di Kolombia sini, bila aku naik panggung tak seorang pun bakal menembak," kata Marquez kepada Castro.

Semuanya, bermula saat Marquez menjenguk kembali kota masa kecilnya, Aracataca. Di sini, ia dibesarkan di rumah kakeknya yang begitu penuh cerita: rumah besar penuh hantu, percakapan-percakapan lewat kode-kode, mereka yang mampu meramalkan kematian mereka sendiri, dan yang sangat membekas barangkali adalah pembantaian para pekerja perkebunan pisang, Macondo, yang kemudian diabadikan Marquez sebagai kota (imajiner) di "Seratus Tahun Kesunyian".

Sejarah pembantaian pekerja perkebunan pisang itu sendiri tak pernah tertulis di buku-buku teks sejarah, hal yang membuat Marquez terheran-heran di masa-masa sekolah. Nostalgia-nostalgia pada hal-hal itulah yang membuat Marquez menelantarkan istri dan keuangan rumah tangganya selama berbulan-bulan. Hasilnya? "Seratus Tahun Kesunyian" dan setumpuk tagihan.

Novel karangan seorang mahasiswa hukum drop-out ini, mampu membuat Jennifer Lopez berkomentar, "Apa yang membuatku bangga sebagai seorang Latin adalah 'Seratus Tahun Kesunyian'!" Sebuah novel yang barangkali sulit dihilangkan dalam buku-buku sejarah kesusastraan dunia.
***

Penulis, pengelola toko buku dan perpustakaan Taman Bunga Jatinangor, email: di_taman_bunga@yahoo.com, www.taman-bunga.blogspot.com.
dimuat pada Pikiran Rakyat 5 oktober 2006

Monday, October 02, 2006

Buku Bagus Pertama Pecahkan Cerita Misterimu

MENURUT pendapatmu, apa sih buku itu? Kamu mungkin membayangkan buku-buku sekolah yang sudah usang dan membosankan, atau buku-buku yang sudah berdebu di rak. Dan bagaimana dengan buku cerita, bukankah ia tak hanya untuk anak kecil, tetapi juga untuk kaum yang lebih dewasa juga?

Saya memang suka membaca. Orang tua saya sudah memperkenalkan buku-buku sejak saya masih bayi. Awalnya, saya melihat gambar-gambar dan belajar mencoba mengucapkan kata-kata sederhana, seperti “kucing” atau “rumah”. Sejalan dengan bertambahnya umur, orang tua mulai membacakan cerita dari buku-buku cerita. Jadi, saya dibesarkan dengan buku-buku di sekitar saya.

Ketika saya berumur 7 atau 8 tahun, saya mendapat buku berjudul “Well Done Secret Seven. Buku ini bercerita tentang tujuh anak yang membangun sebuah rumah kayu dan mendapati seorang anak laki-laki mengambil buku-buku, kue-kue, dan minuman-minuman mereka.
Siapakah anak laki-laki misterius itu dan mengapa ia bisa berada di sana? Kemudian mereka menemukan seorang anak laki-laki beserta kucingnya, dan tentang ceritanya yang aneh. Mereka membantu anak laki-laki tersebut kalau ternyata dia ada dalam bahaya. Secret Seven (Tujuh Sekawan-red.) ingin sekali menghentikannya. Tapi, bagaimana jika mereka salah? Bagaimana jika anak laki-laki yang mereka temui tadi berbohong? Apa yang akan mereka lakukan? Di sepanjang cerita, mereka berhadapan dengan misteri dan tantangan yang menarik!
Buku cerita ini dikarang oleh Enid Blyton. Buku tersebut merupakan satu di antara buku-buku cerita berseri tentang tujuh anak yang membentuk sebuah klab rahasia dan selalu berhasil mengungkap banyak misteri.

Ketika saya semakin besar, saya semakin banyak mendapat buku-buku Secret Seven dan bisa dilihat bagaimana si pengarang begitu lihai membangkitkan rasa penasaran dan bagaimana Secret Seven menghadapi banyak misteri yang harus dipecahkan. Saya telah membaca 19 dari 21 buku serinya.

Tanpa disadari, saya telah memiliki sebagian besar buku-buku Seven Secret (dan juga sebagian besar buku-buku Great Five (Lima Sekawan-red.). Saya membacanya berkali-kali. Saudara laki-laki saya juga membacanya dan meskipun saya tidak terlalu menikmati membaca, tetapi 19 buku cerita tersebut sangat membantu saya untuk belajar mencintai membaca dan saya tahu kalau membaca buku-buku itu cukup rumit.

Saya juga suka membaca buku-buku karangan Roahld Dahl karena cerita-ceritanya kocak dan menarik. Ada beberapa buku bagus untuk dibaca ketika kamu sedang bete dan butuh tertawa! Beberapa dari karya besar yang dia tulis antara lain: James and the Giant Peach, George’s Marvellous Medicine, Matilda, dan The Giraffe, dan Pelly and Me.

Jadi, saya ingin katakan kepada siapapun, jika kita ingin anak-anak kita membaca, cari buku-buku bagus yang mereka sukai. Jika mereka suka ceritanya, mereka akan baca karena mereka ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika kamu banyak membaca, maka dunia akan menjadi sebuah tempat yang lebih besar sejalan dengan apa yang kamu temukan mengenai orang-orang dan tempat-tempat. Jadi, matikan TV-mu dan ambil sebuah buku, kamu tidak pernah tahu apa yang akan kamu temukan.
***

(Emily Duff, pelanggan setia ReadingLights the second-hand bookshop, berusia 11 tahun, berasal dari Inggris dan kini tinggal di Indonesia. Email: readinglights@gmail.com.)
dimuat di suplemen Kampus_PR tanggal 28 September 2006

Saturday, September 23, 2006

Rumah Buku
Buku, Lagu, Film, Semua Ada di Sini

PADA Senin (3/7), Kampus sengaja mengunjungi sebuah rumah yang terletak di kawasan Hegarmanah. Kabarnya, tempat yang akan dikunjungi bukan sekadar tempat tinggal, tetapi rumah yang berpredikat sebagai ruang baca atau perpustakaan. Sang empunya tempat memberinya nama Rumah Buku.

LEWAT tengah hari menjelang sore, cuaca Kota Bandung mungkin tidak ada beda dengan Jln. Thamrin, Jakarta. Jalan-jalan di saat waktu seperti itu masih harus menyeka peluh yang tak henti-hentinya menetes karena sengatan matahari. Tambah lagi, telinga yang dipaksa mendengar lantunan suara mesin bermotor yang menderu.

Hiruk-pikuk yang menghiasi sepanjang Jln. Setiabudi akhirnya kandas. Memasuki kawasan Hegarmanah, peluh mulai berkurang karena angin berembus dari sela-sela pepohonan besar di kiri-kanan jalan.

Ditambah, kebisingan lalu lintas berganti dengan keheningan rumah-rumah sebesar lapangan basket. Maklum, Hegarmanah adalah daerah elite sekaligus kompleks pendidikan para calon perwira militer.

Tak berapa lama, akhirnya tempat yang dituju pun sudah mulai tampak. Dari luar, Rumah Buku tampak berbeda dengan sosok perpustakaan yang biasa terlihat di perguruan tinggi atau perpustakaan daerah yang terletak di jalan by pass (Jln. Soekarno-Hatta).

Rumah dengan nomor urut 52, ini memiliki taman yang hijau dengan tanaman dan rumput yang terpangkas rapi. Pantas jika kesan pertama melihat perpustakaan ini adem. Bandingkan dengan perpustakaan di kampus Anda.

Seorang kawan, yang menemani ke tempat itu, lalu mengenalkan Kampus kepada sang pemilik tempat. Dia adalah Ariani Darmawan. Seorang jebolan arsitektur Universitas Parahyangan dan Master of Fine Art di School of the Art Institute, Chicago.

Di dalam ruangan, buku-buku tertata di rak berangka besi bekas. Selain itu, setting lampu pun terkesan unik. Bohlam 40 watt dibungkus kertas daur ulang warna coklat, berada di atas sofa empuk berwarna cokelat.

Sementara, soal materi Rumah Buku, pemilik pun punya lagu dan film. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat kumpulan compact disc lagu dari genre jazz-nya Miles Davis, Bob Dylan, sampai group band pop Indonesia Dewa 19. Masih di ruangan yang sama, terdapat pula rak berisi film-film non-Hollywood. Totalnya ada 2.192 judul buku, 400 judul film, 769 judul lagu.

Ariani menceritakan bahwa Rumah Buku ialah sebuah tempat yang memiliki konsep peminjaman buku, CD lagu, dan pemutaran film. Tujuannya menjadi rujukan siapa pun yang ingin tahu tentang sastra, filsafat, sampai ensiklopedia Indonesia. "Barang-barang Rumah Buku bukan yang mudah dicari di pasaran," katanya, meyakinkan.

Buku Ariani terdiri dari 60% teks asing dan sisanya teks Indonesia. Karena yang punya jebolan arsitek, sebagian buku-buku arsitek seperti karya Alvaro Siza nampak memenuhi rak buku di sebelah kanan pintu masuk. Tapi, ada juga buku-buku tua Indonesia seperti Tjerita dari Blora (karya Pramoedya) cetakan tahun 1963 dan Semerbak Kota Bandung (karya Haryoto Kunto) melengkapi koleksi.

Meski tempat ini perpustakaan, tidak semua buku bisa dipinjam. Jika menemukan buku berpita merah, buku itu haram untuk dipinjamkan alias hanya bisa dibaca di tempat.

Membaca buku di Rumah Buku, memiliki keunikan tersendiri. Pada umumnya, perpustakaan melarang pengunjungnya menyantap makanan dan minuman. Ditambah, suasana pun harus dibuat hening. Sementara di Rumah Buku, pengunjung bisa menyantap teh dan kopi tubruk secara gratis. Andai mencari segelas cappuccino, Ariani menyediakannya dengan harga yang pantas. Selain itu, pengunjung bisa minta diputarkan lagu.

"Aku ingin mengubah stereotip perpustakaan yang terkesan angker," ujarnya berseloroh.
Bosan membaca, pengunjung bisa memanfaatkan fasilitas movie station. Di sini pengunjung mendapati kenyamanan menonton film dari layar 29 inci dan berleha-leha di sofa cokelat yang empuk, tanpa diganggu orang lain yang tak dikenal. Bayarannya pun hanya Rp 7.500,00 per orang.

Tapi untuk menikmati semua fasilitas tadi, pengunjung baru harus mendaftar menjadi anggota. Sebanyak-banyaknya Rp 95 ribu sebagai deposito untuk menikmati segala fasilitas tadi. Uang itu bisa dikembalikan jika yang bersangkutan berniat berhenti. Rumah Buku yang dibuka sejak Maret 2003, sudah memiliki 536 anggota. Para pengunjung setianya biasa mendatangi rumah ini dari pukul 10.00 - 20.00 WIB.
***
dimuat di suplemen kampus_pr 6 juli 2006

”Ngabuburit” Sambil Belajar Kisah Wayang
Oleh : Hardini

NGABUBURIT? Orang Sunda pasti tahu dengan budaya ini. Ya, menunggu waktu buka puasa dengan berjalan-jalan. Demikian juga yang saya lakukan pada hari pertama puasa tahun lalu. Berbekal Peta Komunitas Buku Bandung, saya dan seorang teman ngabuburit dengan berjalan kaki mengelilingi toko-toko buku yang ada di sekitar wilayah Dago, Bandung.

Di salah satu toko buku, mata saya menangkap sebuah buku bersampul merah menyala dengan judul “Anak Bajang Menggiring Angin”, karya Sindhunata. Di bagian belakangnya tertulis: kisah wayang bernilai sastra yang diilhami kisah Ramayana yang hidup di masyarakat Jawa. Wow, rasanya seperti perompak yang baru menemukan harta karun. Buku itu memang sedang saya cari-cari.

Terngiang-ngiang di telinga perkataan sepupu saya beberapa waktu sebelumnya. “Kalau mau belajar wayang, kamu harus baca Anak Bajang...”. Saat itu, saya memang sedang giat-giatnya mencari referensi tentang wayang, kesenian tradisional yang menurut saya sangat besar pengaruhnya terhadap kultur dan karakter beberapa suku di Indonesia. Tanpa pikir panjang, saya pun membeli buku itu.

Membaca “Anak Bajang Menggiring Angin”, merupakan pengalaman yang benar-benar mengasyikkan bagi saya. Kisah Ramayana disajikan dengan kata-kata yang sangat puitis. Cerita dibuka dengan kegagalan Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa dalam menguraikan makna Sastra Jendra (semacam ajian yang konon bila maknanya terurai akan membuat manusia semulia dewa). Kegigihan keduanya terkalahkan oleh hawa nafsu yang mengakibatkan kelahiran Rahwana, raksasa yang kelak menculik Dewi Sinta dari suaminya.

Cerita bergulir terus ke tempat lain di mana Anoman lahir, kehidupan Rama, pernikahan Rama dengan Dewi Sinta, diculiknya Sinta oleh Rahwana, hingga perjuangan Rama dibantu oleh adiknya, Laksmana, dan kera putih yang sakti, Anoman, pergi ke Negeri Alengka untuk menyelamatkan Sinta.

Tidak berlebihan bila sepupu saya berkata saya harus membaca buku “Anak Bajang Menggiring Angin”, bila ingin mengetahui cerita wayang. Begitu banyak tokoh yang diceritakan di buku ini. Tidak hanya berkutat pada “Rama dan Sinta”. Belum lagi sisi-sisi tokoh wayang digali lebih dalam, sehingga di balik kemustahilan yang banyak diceritakan pada kisah ini, tergambar pula sisi-sisi kemanusiaan yang membuat sang tokoh menjadi seolah nyata.

Salah satunya adalah tokoh Rama. Dari cerita yang saya dapat dari komik, serial televisi, atau cerita guru di sekolah, Rama digambarkan sebagai ksatria perkasa yang hebat dan memesona. Gambaran umum tentang laki-laki dambaan sejuta perempuan. Namun di buku ini, Rama yang begitu ksatria dapat menjadi begitu cengeng saat kehilangan Dewi Sinta. Dan Rama yang ksatria, juga tidak lepas dari sisi arogan kelaki-lakiannya. Setelah berjuang setengah mati mengalahkan Rahwana dan puluhan ribu bala tentara Alengkanya untuk menyelamatkan Dewi Sinta, dengan teganya dia meminta dewi cantik jelita itu melemparkan diri ke kobaran api dengan alasan yang sungguh kerdil, takut jika Sinta istrinya sudah tidak suci lagi. Padahal Sinta yang selama ini digambarkan begitu lemah, telah berjuang mati-matian menghadapi kebengisan Rahwana untuk mempertahankan kesuciannya.

Tentu saja bukan hanya kisah cinta yang ada di buku ini, dengan membacanya saya seperti mendapat siraman petuah bijak. Adegan di mana Dewi Sukesi berhenti meratapi nasibnya, dan menyadari bahwa kesalahan masa lalunya timbul karena ia tak sanggup untuk menderita, benar-benar memberi saya pengalaman batin yang luar biasa. Kebahagiaan terkadang hanya keindahan yang menipu. Penderitaan merupakan milik kita yang berharga, karena dengan melaluinyalah kebahagiaan sejati dapat diraih.

Kisah Ramayana yang pertama kali digubah oleh Mpu Walmiki ratusan tahun yang lalu telah hadir dengan berbagai macam versi. Namun, banyak pengamat sastra berpendapat bahwa buku ini tak dapat dianggap sebagai sekedar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah karya sastra dengan gaya bahasanya yang khas, imajinatif simbolik.
***

penulis adalah pengelola toko buku Papirus
Papapipirurus@yahoo.com

”The Cinderella Man”, Bangkit dari Keterpurukan
Oleh : Elta D.

NOVEL ”The Cinderella Man” yang didasarkan pada kehidupan James J. Braddock —seorang petinju kelas berat-ringan Amerika Serikat— memukau saya. Ketika saya diberi rekomendasi oleh seorang kawan yang bergiat di dunia perbukuan, saya langsung menyambar novel ini sebagai urutan teratas daftar belanjaan rutin buku bacaan saya.

Seperti halnya kasus beberapa novel lain yang terkadang lebih greget dibandingkan filmnya, novel ini telah membuktikan lebih baik —filmnya kabarnya cukup meledak di pasaran dan menyabet beberapa penghargaan bergengsi di industri film Holywood.

Novel yang bernuansa autobiografi ini, telah memberi saya inspirasi, terlebih-lebih karena saya hobi menonton pertandingan tinju —dan Chris John adalah petinju favorit— saya lebih merasa yakin bahwa seorang petinju pun memiliki optimisme. Dia mempunyai harapan di kala situasi sesulit apa pun. Hal itu juga berlaku bagi manusia berprofesi bukan hanya seorang petinju.

Jim Braddock mengawali karier tinju profesionalnya di tahun 1926. Dalam waktu dua tahun (1928), dia sudah mengantongi rekor 27 kali menang, 18 di antaranya adalah kemenangan KO, dan tidak pernah terjungkal KO sekalipun. Pada awalnya, Jim memiliki penghidupan yang sangat layak sebagai seorang petinju yang sinarnya sedang benderang.

Namun, sinar kegemilangannya meredup ketika Jim Braddock kalah berkali-kali, menyusul usianya yang melanjut dan munculnya banyak petinju muda berbakat di kelasnya. Jim yang dijuluki sebagai buldog dari Bergen, hidup dalam keterpurukan ekonomi di akhir 1933. Great depression, sebuah depresi ekonomi hebat yang mengguncang ekonomi Amerika Serikat, memperparah kondisi ekonomi Jim, istri, dan tiga orang anaknya.

Mereka tinggal di basement apartemen di tengah musim dingin yang menggigit dengan makanan yang tidak pernah cukup. Pergi berpuluh kilometer hanya untuk mendapatkan giliran kerja yang tak pasti, telah mengisi hari-hari Jim, seorang petinju yang bangkrut. Dia bukannya tidak menabung atau berinvestasi, namun kondisi perkonomian secara makro tetap melemparnya ke jalanan karena investasi yang ia rencanakan, hancur total dihantam badai great depression.

Tahun itu, adalah tahun di mana Perang Dunia II berkecamuk. Betapa besar dan tabahnya seorang Jim dan istrinya mengarungi hidup. Saya lalu membandingkan apa yang telah saya baca dalam buku Garis Besar Sejarah Amerika, begitu gamblang dan terdeskripsikan dengan baik. Seting yang detail menambah gambaran bahwa jika kita bandingkan situasi kita, pascakrisis ekonomi masih amatlah jauh.
Antrean para orang tua mengular di jalanan di kota-kota besar di AS hanya untuk mendapatkan semangkuk sup dari institusi sosial pemerintah. Separuh dokter menganggur, para eksekutif kelas menengah (para akuntan, pengacara, dsb) tinggal menggelandang di taman-taman Kota New York.

Great depression bermula ketika hancurnya pasar saham Amerika Serikat pada Oktober 1929. Rata-rata empat puluh persen nilai saham menguap, beberapa saham bahkan anjlok hingga beberapa sen. Setelah pasar saham runtuh, politikus dan pemimpin industri terus mengeluarkan prediksi optimis bagi perekonomian Amerika Serikat. Akan tetapi, depresi malah menghebat, kepercayaan diri masyarakat Amerika melemah dan banyak yang kehilangan tabungannya untuk seumur hidup.

Sampai tahun 1933, saham di Bursa Efek New York nilainya kurang dari seperlima yang pernah tercapai pada puncaknya di tahun 1929. Rumah-rumah usaha menutup pintunya, pabrik-pabrik tutup, bank-bank gagal dan gulung tikar. Pendapatan pertanian jatuh sampai 50%. Satu dari empat orang Amerika menjadi penganggur. Jim Braddock, adalah salah satu korban dari great depression ini.

Akan tetapi, keinginan Jim untuk bangkit dengan melakukan sesuatu yang ia bisa, yaitu bertinju, mengantarkannya kembali kepada pertarungan-pertarungan bergengsi di laga olah raga tinju. Jim tetap bekerja sebagai buruh di pelabuhan dengan sistem “giliran kerja” meskipun sudah beberapa pertandingan ia kembali menangi. Jim dijadikan simbol kebangkitan kembali orang-orang yang tersisih di antara teman-temannya yang juga menjadi korban dari great depression.
Hal yang menarik adalah, bahwa masyarakat AS yang diwakili oleh potret Jim, mampu bangkit dari keterpurukan tak lama setelah satu dekade berlalu, dan kembali menjadi negara super power dalam kurun waktu kurang dari dua dekade.

Keterpurukan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, secara kasat mata tidak lebih buruk ketimbang yang dialami oleh masyarakat AS ketika dihantam great depression. Di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, tidak kita dapati deretan antrean akuntan atau pengacara (yang menganggur) hanya untuk mendapat satu mangkuk sup.
***
Penulis, adalah pengelola Taman Bacaan Easy Read
ediyarsyah@yahoo.com

Orang Sunda tak Peroleh Perhatian
oleh : agus rakasiwi
SUATU hari di akhir dekade '80-an, seorang berkebangsaan Jepang mulai mencari tahu tentang apa, siapa, dan bagaimana masyarakat Sunda di abad ke-19. Awal keterlibatanya untuk mengetahui tentang etnis terbesar di Indonesia itu, diawali oleh sebuah kebetulan. Kebetulan yang akhirnya menimbulkan rasa empati.Dia, Mikihiro Moriyama. Dia merasa yakin bahwa etnis itu tidak mendapat perhatian lebih dibandingkan etnis lainnya di Indonesia.Mikihiro menilai, bahan-bahan tentang literatur Sunda begitu minim. Kalaupun ada, literatur tersebut masih ditulis dengan tangan. "Saya berpikir bahwa orang Sunda tidak mendapat perhatian yang sepatutnya," ujar Miki, sapaan akrabnya, pada saat diskusi di toko buku Baca-Baca, (26/8).
Rasa empati dan keinginan meluruskan sejarah tentang bahasa dan sejarah Sunda. Dalam bukunya yang berjudul Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, ia hendak memaparkan bahwa orang Sunda adalah bukan masyarakat kelas dua setelah etnis Jawa. Buku itu memberi gambaran yang jelas tentang asal-muasal bahasa dan kesusteraan Sunda. Betulkah bahasa dan sastra Sunda merupakan varian kebudayaan Jawa?Membaca Semangat Baru bukan hanya mengetahui bagaimana bahasa Sunda ditemukan, dimurnikan, dan didayagunakan oleh Belanda atau bagaimana dampak melek aksara dan melek cetak terhadap pembentukan ilmu pengetahuan baru. Uraian di dalamnya juga memberikan gambaran yang rinci bagaimana suatu suku bangsa di negeri ini, menggeliat meniti gelombang modernitas yang melanda Nusantara pada paruh kedua abad ke-19, dan merasa sederajat dengan bangsa-bangsa lain di Barat.Untuk itu, Miki harus menemukan data dan fakta yang valid, daripada sekadar asumsi dan cerita. Kesulitan data tentang perjalanan bahasa dan sastra Sunda, merupakan kendala menyelesaikan buku tersebut, meski Miki telah mengenal bahasa dan budaya orang Sunda sejak tahun 1980. Miki juga tidak ingin hanya menuliskan pengalaman dan asumsi-asumsinya saja dalam membuat sebuah tulisan sejarah. Ia perlu mencari data, meski harus bolak-balik Indonesia-Belanda. Pantas saja Miki menyelesaikan tulisannya dalam kurun waktu 1992-2003.Awalnya, tulisan itu adalah disertasinya untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Leiden.
Namun, karena niat awalnya untuk meluruskan sejarah, ia menerbitkan buku ini pada tahun 2005. "Saya tidak ingin menilai. Saya hanya ingin membantu meluruskan sejarah saja," katanya, dalam bahasa Sunda yang fasih.Uniknya, Miki tidak memilih bahasa Inggris sebagai bahasa "resmi" dalam bukunya. Miki memilih menerbitkan bukunya dalam versi bahasa Indonesia. Menurutnya, buku ini adalah penghargaan bagi orang Sunda, karena itu harus dimengerti oleh yang menerima penghargaan. Bukan berarti orang Sunda tidak memahami bahasa Inggris, tapi lebih pada penghormatan."Orang Sunda itu baik hati. Picik sekali ketika seorang peneliti membuat karya yang tidak dimengerti oleh objek yang ditelitinya. Bertahun-tahun dilayani, tapi tidak memberikan apa pun," katanya dengan gusar.Buku ini sekarang beredar luas tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Jepang.
Namun, Miki mengakui bahwa bukunya tidak terlalu populer untuk kalangan mahasiswa tingkat sarjana. "Sangat sulit untuk dibaca mahasiswa S-1, tapi ini bukan barang baru untuk mahasiswa S-2," kata Miki, yang juga sedang berencana membuat buku tata bahasa Sunda.
***
Dimuat di suplemen kampus, Pikiran Rakyat 7 September 2006

Bandung, Kota Buku yang Terlupakan
BANDUNG sebenarnya memiliki sejarah panjang tentang buku. Bandung tidak hanya terkenal dengan kota ”fashion” dan hiburan ala Paris serta makanannya yang unik. Akan tetapi, sejak dulu kenyamanan Bandung disumbang pula oleh segi intelektual yang membuat para pelajar dan mahasiswa betah menimba ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-20, Bandung terukir sebagai kota berbasis percetakan dan penerbitan selain Batavia, Semarang, Bogor, Cirebon, Surabaya, Pasuruan, dan Surakarta. Dua percetakan milik pribumi di Bandung, seperti yang tercatat dalam buku Semangat Baru karya Prof. Mikihiro Moriyama, yaitu Toko Tjitak Affandi (1903) dan buku-buku karangan Sayyid Uthman, yang diterjemahkan oleh Raden Haji Azhari (tidak disebutkan nama percetakannya). Sedangkan percetakan milik Indo-Eropa diketahui bernama G. Kolff & Co.Dari rentang tahun 1850 - 1906, Kota Bandung telah dibanjiri 222 judul buku berbahasa Sunda, hasil cetakan Bandung dan luar Bandung. Sebagian besar buku-buku tersebut dikonsumsi oleh para pelajar dan mahasiswa, serta gratis disubsidi 100% oleh pemerintah (tidak dikomersialkan seperti sekarang).Buku berbahasa Sunda yang pertama, dicetak yaitu Kitab Pangajaran Basa Sunda setebal 1.490 halaman pada tahun 1950. Dan novel pertama karya sastrawan Sunda D.K. Ardiwinata, berjudul Baruang kanu Ngarora diterbitkan pada tahun 1914 oleh G. Kolff & Co.Kehadiran produk literasi bernama buku sebagai ciri-ciri kemodernan menggantikan prasasti, naskah, dan dokumen, berpengaruh besar terhadap bahan bacaan anak-anak sekolah. S
elain aksara Jawa, Arab, dan Melayu, para pelajar mulai "dipaksakan" mengenal bahasa Latin.Terlepas dari literasi di Bandung adalah produk kolonial, buku tetap memegang kenangan manis bagi warga Bandung tempo doeloe, seperti yang dituturkan oleh R.H. Goerjama, sesepuh Bandung Heritage dalam suatu kesempatan,"Waktu itu, bapak sempat mendatangi toko buku yang paling beken. Mau beli buku Roesdi jeung Misnem dan buku Panjoengsi Basa. Namanya Toko Buku Prawirawinata di Jalan Oude Hospitaalweg, (sekarang Jalan Lembong-pen.) dan cabangnya di Jalan Laksana yang dikelola oleh Pak Ahmad. Pak Prawirawinata, orangnya ramah sekali termasuk sama anak-anak," katanya.Menurut Gorjama, ketika itu toko buku pribumi yang tergolong besar dimiliki oleh R. Prawirawinata. Sedangkan dua terbesar lainnya dimiliki oleh Indo-Eropa, yaitu Toko Buku Van Dorp (sekarang Landmark) di Jalan Braga dan Toko Buku Visser (sudah rata dengan tanah, depan gedung PLN sekarang) yang menjual buku-buku populer.
Toko Buku Prawirawinata, sebagai toko buku pertama yang dimiliki pribumi tentunya menjadi kebanggaan tersendiri untuk warga kota Bandung. Ia menjadi representasi usaha milik orang Sunda yang menjual hasil karyanya dalam bahasanya sendiri. Toko buku itu didirikan sekitar tahun 1920-an dan menikmati masa jayanya sebagai penjual buku-buku Sunda hingga tahun 1930-an.Beberapa kali, toko buku Prawirawinata memasang iklan di koran Sipatahoenan. Menurut Goerjama, sempat melihat nama toko buku tersebut beriklan di majalah Moesson yang terbit di Belanda. Sayang, bangunan toko bukunya kemudian lenyap, dan kini berubah fungsi menjadi sebuah hotel.Salah satu toko buku terkenal lainnya pada masa itu, yaitu Toko Buku Van Dorp. Toko tersebut tercatat dalam sejarah karena keberhasilannya menjual Ensiklopedi Winkler Prins 16 jilid sebanyak 2.000 pasang dengan omzet sebesar 500.000 gulden!Selain pers, penerbitan dan toko buku, Bandung juga dikenal sebagai gudang khazanah ilmu pengetahuan yang tiada tara di Indonesia. Perpustakaan Centrale Bibliotheek di area Gedung Sate yang diresmikan tahun 1924, memiliki koleksi buku teknik dan umum terlengkap kedua setelah perpustakaan pusat di Batavia. Koleksi buku tua, langka, dan berharga tergolong antiqueriat di antaranya yaitu cetakan pertama buku karya Raffles, The History of Java dan Amboinsche Rariteitkamer karya Georg Eberhard Rumpf (hanya dicetak 3 eksemplar, salah satunya tersimpan di perpustakaan ini).
Bagaiamana Bandung sekarang? Sudah tidak aneh jika saat ini orang akan lebih mengenal Bandung sebagai pusat-pusat perbelanjaan untuk kebutuhan mode dan perut an sich. Saban akhir pekan, jalan raya di Kota Bandung selalu sesak dengan para pelancong. Berbelanja dengan information guide minus sejarah perbukuan zaman baheula. Sama sekali tidak mencantumkan, misalnya, di manakah alamat toko-toko buku yang bisa dijadikan sebagai salah satu objek wisata.Hanya ada satu kali event setahun ke belakang yang digagas oleh salah satu toko buku yaitu Wisata Buku, itu pun tidak berkelanjutan dan masuk agenda kota. Lantas, yang menjadi pertanyaan kemudian: apakah memang bisnis buku menurut sebagian besar event organizer atau pemerintah kota dipandang tidak menjanjikan?Padahal jika ditelisik lebih dalam, saat ini di Bandung telah tumbuh sedikitnya 50 titik komunitas literer. Mereka membutuhkan perhatian segera atau setidaknya dapat diketahui keberadaannya oleh masyarakat luas. Bandung tidak hanya memiliki toko-toko buku besar dan kegiatan besar, yang selama ini selalu diadakan dua kali dalam setahun oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat saja, tetapi juga memiliki kantong-kantong buku yang lebih variatif terutama dilihat dari aspek dunia buku berbasis komunitas.Rantai perbukuan di Bandung sebenarnya sudah 100% sempurna. Mulai dari penulis dengan komunitas menulisnya, penerbit, distributor buku, toko buku, perpustakaan/taman bacaan, hingga konsumen.
Namun kiranya, komponen-komponen tersebut kurang menarik bahkan sekadar untuk dilirik sekalipun oleh para pengambil kebijakan. Padahal, mereka dengan kekhasannya masing-masing telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit untuk membentuk karakter intelektual di Bandung.Peta buku BandungUsaha memetakan jaringan perbukuan di Bandung, pernah dilakukan tiga tahun belakangan ini. Hasilnya fantastis, terdapat 400 titik komunitas buku yang hidup di kota ini! Tetapi, entah kenapa usaha tersebut kandas di tengah jalan sehingga masyarakat belum sempat merasakan manfaatnya.Baru dua tahun kemudian, dengan semangat militansi swadaya antarpegiat buku di Bandung, akhirnya data tersebut dikumpulkan kembali dan menghasilkan dokumentasi baru bernama Urban Carthography (disusun oleh Common Room dan Dipan Senja) berisi 33 titik kantong buku. Peta ini telah tersebar di setiap kantung-kantung buku dan beberapa display distro dan sentra kegiatan kampus-kampus. Tahun ini, setelah data diperbarui tercatat sedikitnya 40 titik kantung literasi di Bandung, itu pun belum termasuk 100 penerbit lebih yang telah terdaftar di Ikapi Jawa Barat.Peta ini memberikan informasi kepada khalayak, bahwa sebaran kantung literasi masih tidak merata. Hampir sebagian besar tersebar di wilayah Bandung Utara. Hal tersebut ditilik wajar pula karena wilayah ini banyak berdiri kampus besar dan selalu diidentikkan dengan pusat keramaian Bandung.Kesadaran untuk menganggap buku sebagai kebutuhan primer memang masih terasa berat menurut sebagian besar masyarakat, akan tetapi akan menjadi pertanyaan kembali, Apakah benar membeli sebuah buku itu jauh lebih mahal ketimbang orang berbondong-bondong menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk berbelanja pakaian, itu pun dengan tawar menawar yang alot?
Fakta-fakta sejarah di atas telah membuktikan Kota Bandung tak perlu diragukan lagi sebagai pusat buku yang berpengaruh di tanah air. Namun, sayang sekali kejayaan Bandung sebagai salah satu pusat buku di tanah air ini, di tingkat lokalnya sendiri kian hari kian terkikis. Infrastruktur kota yang lebih mendukung ke arah sisi fashion dan makanan jauh berbanding terbalik dengan ketersediaan akses yang mudah untuk dunia buku.Simak penuturan "kuncen" Bandung, Haryoto Kunto kepada kolektor buku, Haryadi Suadi pada tahun 1985, tentang kegilaannya terhadap buku."Sejak lancar membaca, maka keinginan membaca pun semakin menggebu-gebu. Setiap waktu kosong diisi oleh membaca berbagai macam buku. Pokoknya, di masa-masa itu boleh dikata --tiada hari tanpa membaca buku.
Perpustakaan dan kawan-kawan yang punya minat yang sama mulai dihubungi. Juga semua toko buku telah 'diacak-acak'. Pengeluaran uang mulai diperketat, kemudian disisihkan demi membeli buku," katanya.Ya, semoga saja ke depannya masyarakat akan semakin menaruh minat yang tinggi terhadap buku di kotanya sendiri. Dan secara tidak langsung, aspek intelektual selain pemenuhan kebutuhan perut dan penampilan luar kasat mata, akan terpenuhi.
***
Deni Rachman & Wiku Baskoro
Bergiat di literacy agent Dipan Senja dipansenja@yahoo.com

Artikel PR 7 September 2006

Besok (8 September) Hari Baca Tulis Sedunia
TIAP tahun sejak tahun 1966, UNESCO (The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) alias Organisasi Bangsa-bangsa di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, selalu memperingati Hari Baca Tulis sedunia pada tanggal 8 September. Nah, Bagaimana sebenarnya awal mula, sejarah, dan tujuan kegiatan ini?
Tujuan dari peringatan Hari Baca Tulis sedunia ini adalah menumbuhkan kesadaran dan menggugah opini publik internasional untuk memberi perhatian penuh terhadap kegiatan baca tulis --misi yang diusung UNESCO sejak Konferensi Umum I pada tahun 1946. Peringatan rutin ini merupakan tindak lanjut dari World Conference of Ministers of Education (Konferensi Tingkat Menteri Pendidikan se-Dunia) dalam rangka memberantas buta huruf yang diselenggarakan di Teheran, Iran pada 8 September 1965. Tanggal itulah yang sampai sekarang dipakai untuk memperingati konferensi tersebut, sekaligus diproklamasikan sebagai Hari Baca Tulis sedunia. Saat itu, pemerintah Republik Islam Iran meminta supaya UNESCO memberikan penghargaan kepada setiap usaha pemberantasan buta huruf. Penghargaan pertama yang diberikan yang dirintis oleh pemerintah Republik Islam Iran adalah Mohammed Reza Pahlavi Prize (1967-1978). Setelah itu, disusul oleh dua penghargaan lain yaitu The Nadezhda K. Krupskaya Prize (1970-1991) dan The Iraq Literacy Prize (1989-1991).
Saat ini terdapat lima penghargaan internasional yang diberikan tiap tahun yaitu: 1. The International Reading Association Literacy Award, dirintis pada tahun 1979 oleh lembaga nonpemerintah The International Reading Association. 2. The Noma Literacy Prize dirintis pada tahun 1980 oleh Soichi Noma, President Penerbit Kodansa Ltd.,3. Dua buah penghargaan The King Sejong Literacy Prizes dirintis pada tahun 1989 oleh pemerintah Republik Korea, yang diberikan dalam rangka memperingati seorang raja yang berhasil menemukan huruf Korea sejak 500 tahun silam,4. The Malcolm Adiseshiah International Literacy Prize dirintis tahun 1998 oleh pemerintah India untuk memperingati meninggalnya Malcolm Adiseshiah, sebagai mantan Deputy Director-General of UNESCO dan Chairman of The International Literacy Prize Jury.
Sedangkan tiga kategori yang diberikan sebagai bentuk penghargaan lain yaitu: 1. Pemberian dana sebesar 15,000, dolar AS medali perak dan gelar diploma.2. Anggota kehormatan berupa medali perunggu dan gelar diploma.3. Daftar penghargaan penerima International Literacy Prize. Tema tahun ini, Hari Baca Tulis Internasional mengambil tema "Gerakan Literasi dan Pembangunan yang Berkelanjutan".
Lalu di negara kita, apa yang akan kita peringati pada tanggal 8 September tahun ini?
***
deni rachman dipansenja@yahoo.com

liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006

Deni Rachman dan Wiku Baskoro
Memberdayakan Gerakan Literasi
oleh : ricky yudhistira
pr_kampus
BERONTAK terhadap praktik kekerasan di orientasi pengenalan kampus (ospek) oleh mahasiswa yang notabene teman-temannya, Deni Rachman diasingkan. Mencari aktualisasi baru, alumnus Kimia Unpad ini menoleh pada cita-cita terpendamnya, bikin toko buku. Dengan modal nekat dan dana pinjaman, ia membeli beberapa eksemplar buku dari pasar buku Palasari dan berjualan ngampar di lapangan Gasibu dan kompleks Pusdai. Itu tahun 2001. DI tempat ngampar ini, Deni bertemu seorang distributor dan kerja sama pun terjalin. Atas dasar kepercayaan dan sistem konsinyasi (titip jual), ia bisa memilih buku yang laris untuk dijual dengan jumlah yang banyak relatif tanpa keluar modal. Ia pun mulai merambah event-event lebih besar di tempat-tempat seperti Sabuga dan Graha Manggala Siliwangi. Tetapi, perlakuan tidak enak bukannya tidak sempat mampir. Sampai saat ini, ijazah SMA-nya yang dijadikan jaminan belum dikembalikan oleh sebuah penerbit besar. Padahal, urusan bisnis di antara mereka sudah beres.
Waktu berlalu. Tahun 2003, Deni tetap belum punya toko buku. Justru kos-nya makin penuh terisi dus buku. Berkat jam terbang, Deni mengetahui seluk-beluk bisnis perbukuan. Ia banting setir menjadi distributor dan mendirikan Lawangbuku. Apalagi toko-toko buku seperti yang pernah diidamkannya, mulai ramai bermunculan di Kota Bandung dan sekitarnya. "Waktu itu sebulan bisa muncul satu," katanya mengenang. Kini, tak sedikit dari toko-toko buku itu malah tumbang. Wiku Baskoro, adalah salah satu mantan pengelola toko buku yang tumbang. Bukan hanya satu, tetapi dua toko, yakni toko buku Hitam Putih (2003) dan Warung Lesehan (2004). Hingga saat akhir, tinggal Wiku sendirian. Teman-temannya sudah lama pergi. Ia sendiri mulai terjun ke bisnis buku setelah sukses menggelar pameran buku di kampusnya, Universitas Widyatama. Toh, buku sempat mempertemukan Wiku dan Deni. Mereka mendirikan Dipan Senja pada 2004. "Itu eforia," kata Deni, ketika melihat basis pendirian toko buku yang labil. Pasca orde baru (Orba), menurut dia, keran informasi terbuka luas namun berbarengan dengan krisis ekonomi. Periode 1999-2001 penerbit-penerbit buku dari Yogyakarta meluncurkan buku-buku yang pada masa Orba sulit diperoleh. Mahasiswa melihat peluang bisnis dan kebebasan mengakses buku lebih banyak. "Ada buku, ada modal, ada tempat, jadilah toko buku. Tapi komitmen nggak kuat," kata Deni. Namun benarkah, ada penjual buku karena semangat kumpul-kumpul dan prestise agar kelihatan intelek? "Wajar saja. Nggak munafik, saya memulainya juga karena pengin ada image itu. Tapi itu saja nggak cukup. Harus ada kemampuan manajerial.
Fungsi manajemen mesti berjalan bagus. Deni sempat menerbitkan buku secara independen ("Sosialisme di Kuba: Idealisme Setengah Hati", Kang Bondet/Sigit Susanto, 2004) yang mencuatkan namanya. Dipan Senja kemudian memfokuskan diri pada membangun jaringan komunikasi antarpegiat buku, terutama sisi manajemen. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kurangnya kemampuan manajemen inilah yang membuat kondisi usaha perbukuan tidak sehat.
Dipan Senja menjadi agen literasi. Workshop Buku 5 in One yang merupakan rangkaian kegiatan transformasi ilmu manajemen praktis untuk perbukuan digelar. Dalam bisnis buku, Deni dan Wiku mengalami perubahan paradigma. Sebelumnya mereka menjual/menyalurkan buku menurut selera mereka. Kemudian karakter konsumen/retail mereka perhatikan. Konsumen di Gasibu tentu beda dengan di Sabuga. Image toko-toko buku tentu masing-masing tidak sama. Penerbit pun mereka perhatikan. Sebagai distributor, Lawangbuku memilih penerbit yang peduli pada literasi, minimal mendukung program bedah buku mereka. Sikap manusiawi juga jadi pertimbangan. Pedagang punya kemampuan dan selayaknya diberi keleluasaan menyusun program-program. Bukannya digenjot terus untuk mengejar materi.
Soal retail, Lawangbuku mempertimbangkan profil pengelola dan kelayakan tempat. "Bisnis distribusi Lawangbuku tetap jalan. Secara finansial kita harus kuat. Tanggungjawab kita sebagai pelaku perbukuan itu di Dipan Senja. Jadi, nggak timpanglah. Kita nggak sekadar jadi manusia bisnis, tapi juga manusia yang sosial, bantu teman-teman. Minimal apa yang dipermasalahkan di Lawangbuku, itu bisa teratasi dengan kita ngumpul bareng. Saling menguntungkanlah", kata Deni. Transformasi toko buku menjadi toko buku berbasis komunitas atau toko buku plus taman bacaan dan perpustakaan, dilihat Wiku sebagai sebuah langkah manajemen. "Saya ngelihat-nya sebagai perkembangan. Dulu muncul toko buku, lalu muncul toko buku komunitas, refresh lagi, muncul lagi toko buku dan taman bacan. Dari sisi bisnis, itu seperti tadi, salah satu bagian dari manajerial untuk menambah pemasukan", kata Wiku. Apakah menolong atau tidak, menurut Deni, itu yang mau dilihat dari workshop. Yang jelas, untuk toko buku plus taman bacaan sudah muncul ekses. "Ada beberapa penerbit yang nggak mau menyuplai toko buku yang ada taman bacaannya. Soalnya, katanya sih orang jadi lebih suka minjem daripada beli," kata Deni. Wiku menyatakan heran. mengapa bisnis buku belum pernah dibahas secara detil seperti comsumer goods. Padahal, dari sisi crowded-nya pasar itu menarik. Konsumen tidak banyak, daya beli terbatas, belum lagi buku masuk skala prioritas entah ke berapa. Justru, hal inilah yang menumbuhkan kreativitas toko buku alternatif dengan membuat taman bacaan, misalnya.
Pelabelan alternatif, menurut Deni, juga mengundang ekses tersendiri. Entah siapa yang pertama kali menyebutkan. Istilah ini dialamatkan pada toko-toko buku yang menjual buku-buku bekas, buku-buku yang berasal dari penerbit relatif tidak besar. Karena alternatif, image yang dilayangkan kepada toko-toko buku ini adalah tidak profesional. Belum lagi pembedaan perlakuan yang dialami antara toko buku seperti ini dengan toko buku besar saat pameran, misalnya. "Kan sama-sama tamu, sama-sama toko buku , masa tidak diperlakukan setara," kata Deni. Pemberdayaan manajemen juga dan jaringan komunikasi perlu dilakukan untuk menutup celah kejahatan yang dapat terjadi dalam bisnis ini. Setidaknya menjadi penangkal dini. Model kejahatan "mafia" apa yang biasa terjadi? "Satu, pembajakan. Dua, penipuan", kata Deni. "Teman saya ditipu orang dari Jakarta yang mengaku sebagai distributor. Dia ambil buku sekian juta tanpa dp (down payment-red) sedikitpun. Setelah dilacak ternyata nama orang dan distributor itu nggak ada. Saya pikir buku yang diambil diobral supaya laku aja dan itu merusak. Ada sistem, penerbit ke distributor berapa persen, distributor ke toko buku berapa persen, toko buku ke konsumen berapa. Cuma dengan penipuan seperti itu dia bisa langsung jual ke konsumen dengan harga penerbit ke distributor". Wiku menambahkan, kasus praktik kejahatan yang tengah menimpa sejumlah taman bacaan. "Di taman bacaan itu ada mafianya. Pinjam dan nggak ngembaliin lagi. Teman saya kehilangan buku-buku yang mahal seperti 'Musashi' dan 'Eragon'. Beberapa tempat juga kehilangan banyak buku. Teman saya pengin bikin jaringan antartaman bacaan supaya kalau ada yang seperti itu, keanggotaannya di-black list dan nggak bisa masuk ke taman bacaan yang lain", katanya. Soal mafia perbukuan, Deni juga berusaha melihat ke dalam. "Saya juga sering bertanya. Ketika misalnya saya atau teman-teman yang lain telat bayar, jangan-jangan kita juga mafia. Karena itu menyusahkan dan melambatkan perputaran. Introspeksi juga. Jangan-jangan kita juga mafia buat orang lain, nih. Orang bisa bangkrut gara-gara kita nggak bayar."
Pilihan Dipan Senja untuk menjadi agen literasi, ternyata memang bukan tanpa alasan. Semua lini kegiatan perbukuan seharusnya solid. Satu macet, macet semua. Maka, workshop yang diselenggarakan Dipan Senja, meliputi pengelolaan toko buku alternatif, distributor buku, penerbit, perpustakaan/taman bacaan, dan penulisan. Workshop diadakan secara paralel selama satu tahun hingga tahun 2007, bekerja sama dengan Bale Pustaka (Jln. Jawa No. 6, Kota Bandung). Informasi seputar workshop dapat diakses melalui milis workshopbuku@yahoogroups.com.

***