« Home | Metamorfosis Kertas oleh: Sigit SusantoSCHOPENHAUE... » | Jadi Distributor BukuDari Mana Kita Memulai? ADA ... » | Catatan dari Paris- Membaca Adalah Keniscayaan ole... » | Cinta Dalam Ceritaoleh: Ragil RomlyNAPAS saya meng... » | Melesatkan Ide Cerita Novelmu oleh : wiku baskoroT... » | "Menemukan" Lagi Masa Kecil oleh : Kandi Sekarwula... » | Menjadi Bijak dengan Buku (Adi Toha, email: jalain... » | Novelis Qaisra ShahrazPakistan dan "Perempuan Suci... » | Pasar Buku Murah dan Berkualitas (Liputan di Piki... » | Seratus Tahun tak TerlupakanOleh : Imam Hidayah Us... »

Wiro, Pendekar Sableng yang Gendeng
oleh: Doni Slamet R

PENDEKAR 212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan. Pukulan sakti yang hendak dikeluarkannya adalah Segulung Ombak Menerpa Karang, dengan pengerahan tenaga dalam setengah dari yang dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh lima. Dua kaki tegak merenggang. Dua tangan perlahan-lahan diangkat dari arah pinggang ke atas batu hitam, tepat pada bagian yang diperkirakannya merupakan pintu rahasia.

"Wuttttt! Wutttt!"
"Bummm! Bummm!" Dinding batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti menyebabkan gelegar panjang di dalam jurang. (Misteri Pedang Naga Suci 212, 45)

Itulah salah satu pukulan maut yang dimiliki pendekar 212 Wiro Sableng. Walau namanya sableng, kesaktiannya sangat tinggi. Dengan gayanya yang sableng, Wiro berkelana dalam dunia persilatan yang diciptakan sang pengarangnya.

Bastian Tito, itulah nama pengarang novel silat Wiro Sableng yang melegenda. Gaya khas dari Wiro adalah selalu saja dia ketawa santai sambil garuk-garuk kepalanya. "Hik... hik". Pakaian silat warna putih dengan ikat kepala putih adalah pakaian khasnya. Di punggungnya selalu terselip sebuah senjata berupa kapak sakti. Kapak Naga Geni 212, demikian nama senjatanya. Angka 212 merupakan angka yang menjadi sakti baginya, selain di bilah kapaknya, angka 212 juga tertulis di dadanya yang kekar....

Masih banyak lagi yang khas dari sosok pendekar 212 ini. Begitu kental dan sangat khas membuat saya ingat terus hingga sekarang, padahal sudah 20 tahun yang lalu saya keranjingan membaca serial ini. Novel serial silat Wiro Sableng menjadi buku yang merangsang saya untuk gemar membaca. Setiap bulannya saya pasti berusaha membeli buku itu, kalau tidak salah hanya Rp 1000,00.

Kenapa merangsang? Karena setelah sering membaca serial silat Wiro Sableng, saya jadi gemar membaca buku yang lainnya, termasuk membaca buku wawasan tentang Marxisme, pemikiran liberal, tentang Islam kanan dan Islam kiri, sastra, dan lain-lain. Serial Wiro Sableng 212 mengajarkan saya untuk berjuang mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti Wiro yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan gayanya yang sableng.

Kembali ke serunya cerita silat sang pendekar 212, salah satu yang membuat saya bisa menikmati ceritanya adalah latar belakang budaya Indonesia yang kental. Selain itu, ceritanya pun sangat mudah dicerna, apalagi nama tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita itu selalu saja kocak dan mudah diingat. Misalnya saja Dewa Penidur. Walau kerjaannya tidur, tapi kesaktiannya sangat tinggi. Yang lucu, dia terbangun kalau mau berkelahi. Setelah selesai, dia akan tidur lagi hingga ngorok.

Begitu juga dengan Dewa Tuak, seorang kakek yang ke mana-mana selalu membawa minuman keras berupa tuak dalam sebuah kendi. Di mana pun dan kapan pun, dia selalu mabuk, begitu juga dengan kesaktiannya dan ilmu silatnya seperti orang yang mabuk berat. Walau lemah tak beraturan seperti orang yang mabuk, tenaga dalamnya sangat tinggi sehingga sekali pukul, tenaganya yang dahsyat dapat membuat lawan terpelanting. Ada lagi Setan Ngompol, pendekar yang kerjaannya ngompol seperti bayi. Bau pesing yang menyengat dari pakaian yang dikenakanya menusuk hidung siapa saja yang ada di dekatnya.

Jurus yang dimiliki sang pendekar pun lucu. Coba saja jika Wiro Sableng mengeluarkan jurus kunyuk melempar buah. Perangai atau tingkah laku Wiro Sableng akan seperti seekor monyet yang sedang melempar buah-buahan.

Wiro Sableng merupakan murid nenek Sinto Gendeng. Namanya memang gendeng, begitu pun dengan perangainya yang gendeng, Namun di balik kegendengannya itu, kesaktian yang dimiliki nenek tua ini sangat tinggi.

Jika membaca kisah silat Wiro Sableng, kita akan terperangah dengan keunikan jumlah halaman pada setiap bukunya yang selalu berjumlah 112 atau 128 halaman. Jangan kaget kalau kita tiba-tiba ketawa atau ikut garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Hik... hik," seperti perangai si Wiro yang tetap sableng.
(Doni Slamet R., distributor dan pengelola toko buku surat_tea@yahoo.com.au, pernah dimuat di Pikiran Rakyat suplemen Kampus 14 Desember 2006)
***