« Home | Buku Bagus Pertama Pecahkan Cerita Misterimu ... » | Rumah BukuBuku, Lagu, Film, Semua Ada di SiniPADA ... » | ”Ngabuburit” Sambil Belajar Kisah WayangOleh : Har... » | ”The Cinderella Man”, Bangkit dari KeterpurukanOle... » | Orang Sunda tak Peroleh Perhatianoleh : agus rakas... » | Bandung, Kota Buku yang Terlupakan BANDUNG sebenar... » | Artikel PR 7 September 2006 » | liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006 »

Seratus Tahun tak Terlupakan

Oleh : Imam Hidayah Usman


Diberitakan pula, bahwa salah satu ruang kelas di Departemen Sastra Universitas Harvard mendadak riuh dengan suara tepuk tangan para mahasiswa, sesaat setelah Profesor Juan Marichal mengabarkan ihwal penghargaan itu kepada isi kelas.

Marquez, menjadi legenda baru yang dipuja begitu banyak kalangan. "Seratus Tahun Kesunyian" (One Hundred Years of Solitude), yang terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol pada 1967 sebagai Cien Anos de Soledad, kemudian dibaptis banyak kritikus sebagai novel terbaik di abadnya. Novel inilah yang mengantarkan Gabito --demikian ia biasa disapa-- menjadi Nobelis.

Di Amerika Latin, terutama di Kolombia dan Meksiko, konon novel ini lebih laris ketimbang Alkitab. Itu memang tanah kelahirannya. Ia lahir di Aracata, Kolombia, pada 6 Maret 1928 (sedang ayahnya lebih yakin kalau ia lahir pada 1927). Ketenarannya melampaui presiden dan hanya bisa ditandingi oleh bintang sepak bola atau ratu kecantikan.

Silvana Paternostro, jurnalis yang sempat berguru pada Marquez, menuliskan dengan sangat apik ketenaran sang maestro, "Namanya muncul di kontes-kontes kecantikan kami sesering nama Paus. Jawaban para kontestan jadi repetitif: Siapa penulis favoritmu? Garcia Marquez. Siapa yang paling kamu kagumi? Ayahku, Paus, dan Garcia Marquez. Siapa yang ingin kau jumpai? Garcia Marquez dan Paus. Bila pertanyaan yang sama diajukan pada jurnalis Amerika Latin, jawabannya bisa jadi sama --kecuali soal Paus barangkali.

Suatu hari di tahun 1995, sekelompok gerilyawan menculik kerabat mantan presiden Kolombia. Tuntutan mereka: Gabriel Garcia Marquez menjadi presiden. Mereka menulis dalam permohonan mereka, "Nobel, tolong selamatkan tanah air!"

Di tahun 1994, saat pertemuan Negara-Negara Non-Blok digelar di Cartagena, Marquez hadir bersama rombongan delegasi Kuba. Saat itu berkembang isu akan terjadi pembunuhan terhadap Fidel Castro, Presiden Kuba. Untuk melindungi Castro, Marquez menaiki delman yang sama dengan Castro dan berdesak-desakkan dengan tiga orang lainnya. "Di Kolombia sini, bila aku naik panggung tak seorang pun bakal menembak," kata Marquez kepada Castro.

Semuanya, bermula saat Marquez menjenguk kembali kota masa kecilnya, Aracataca. Di sini, ia dibesarkan di rumah kakeknya yang begitu penuh cerita: rumah besar penuh hantu, percakapan-percakapan lewat kode-kode, mereka yang mampu meramalkan kematian mereka sendiri, dan yang sangat membekas barangkali adalah pembantaian para pekerja perkebunan pisang, Macondo, yang kemudian diabadikan Marquez sebagai kota (imajiner) di "Seratus Tahun Kesunyian".

Sejarah pembantaian pekerja perkebunan pisang itu sendiri tak pernah tertulis di buku-buku teks sejarah, hal yang membuat Marquez terheran-heran di masa-masa sekolah. Nostalgia-nostalgia pada hal-hal itulah yang membuat Marquez menelantarkan istri dan keuangan rumah tangganya selama berbulan-bulan. Hasilnya? "Seratus Tahun Kesunyian" dan setumpuk tagihan.

Novel karangan seorang mahasiswa hukum drop-out ini, mampu membuat Jennifer Lopez berkomentar, "Apa yang membuatku bangga sebagai seorang Latin adalah 'Seratus Tahun Kesunyian'!" Sebuah novel yang barangkali sulit dihilangkan dalam buku-buku sejarah kesusastraan dunia.
***

Penulis, pengelola toko buku dan perpustakaan Taman Bunga Jatinangor, email: di_taman_bunga@yahoo.com, www.taman-bunga.blogspot.com.
dimuat pada Pikiran Rakyat 5 oktober 2006