Saturday, September 23, 2006

Rumah Buku
Buku, Lagu, Film, Semua Ada di Sini

PADA Senin (3/7), Kampus sengaja mengunjungi sebuah rumah yang terletak di kawasan Hegarmanah. Kabarnya, tempat yang akan dikunjungi bukan sekadar tempat tinggal, tetapi rumah yang berpredikat sebagai ruang baca atau perpustakaan. Sang empunya tempat memberinya nama Rumah Buku.

LEWAT tengah hari menjelang sore, cuaca Kota Bandung mungkin tidak ada beda dengan Jln. Thamrin, Jakarta. Jalan-jalan di saat waktu seperti itu masih harus menyeka peluh yang tak henti-hentinya menetes karena sengatan matahari. Tambah lagi, telinga yang dipaksa mendengar lantunan suara mesin bermotor yang menderu.

Hiruk-pikuk yang menghiasi sepanjang Jln. Setiabudi akhirnya kandas. Memasuki kawasan Hegarmanah, peluh mulai berkurang karena angin berembus dari sela-sela pepohonan besar di kiri-kanan jalan.

Ditambah, kebisingan lalu lintas berganti dengan keheningan rumah-rumah sebesar lapangan basket. Maklum, Hegarmanah adalah daerah elite sekaligus kompleks pendidikan para calon perwira militer.

Tak berapa lama, akhirnya tempat yang dituju pun sudah mulai tampak. Dari luar, Rumah Buku tampak berbeda dengan sosok perpustakaan yang biasa terlihat di perguruan tinggi atau perpustakaan daerah yang terletak di jalan by pass (Jln. Soekarno-Hatta).

Rumah dengan nomor urut 52, ini memiliki taman yang hijau dengan tanaman dan rumput yang terpangkas rapi. Pantas jika kesan pertama melihat perpustakaan ini adem. Bandingkan dengan perpustakaan di kampus Anda.

Seorang kawan, yang menemani ke tempat itu, lalu mengenalkan Kampus kepada sang pemilik tempat. Dia adalah Ariani Darmawan. Seorang jebolan arsitektur Universitas Parahyangan dan Master of Fine Art di School of the Art Institute, Chicago.

Di dalam ruangan, buku-buku tertata di rak berangka besi bekas. Selain itu, setting lampu pun terkesan unik. Bohlam 40 watt dibungkus kertas daur ulang warna coklat, berada di atas sofa empuk berwarna cokelat.

Sementara, soal materi Rumah Buku, pemilik pun punya lagu dan film. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat kumpulan compact disc lagu dari genre jazz-nya Miles Davis, Bob Dylan, sampai group band pop Indonesia Dewa 19. Masih di ruangan yang sama, terdapat pula rak berisi film-film non-Hollywood. Totalnya ada 2.192 judul buku, 400 judul film, 769 judul lagu.

Ariani menceritakan bahwa Rumah Buku ialah sebuah tempat yang memiliki konsep peminjaman buku, CD lagu, dan pemutaran film. Tujuannya menjadi rujukan siapa pun yang ingin tahu tentang sastra, filsafat, sampai ensiklopedia Indonesia. "Barang-barang Rumah Buku bukan yang mudah dicari di pasaran," katanya, meyakinkan.

Buku Ariani terdiri dari 60% teks asing dan sisanya teks Indonesia. Karena yang punya jebolan arsitek, sebagian buku-buku arsitek seperti karya Alvaro Siza nampak memenuhi rak buku di sebelah kanan pintu masuk. Tapi, ada juga buku-buku tua Indonesia seperti Tjerita dari Blora (karya Pramoedya) cetakan tahun 1963 dan Semerbak Kota Bandung (karya Haryoto Kunto) melengkapi koleksi.

Meski tempat ini perpustakaan, tidak semua buku bisa dipinjam. Jika menemukan buku berpita merah, buku itu haram untuk dipinjamkan alias hanya bisa dibaca di tempat.

Membaca buku di Rumah Buku, memiliki keunikan tersendiri. Pada umumnya, perpustakaan melarang pengunjungnya menyantap makanan dan minuman. Ditambah, suasana pun harus dibuat hening. Sementara di Rumah Buku, pengunjung bisa menyantap teh dan kopi tubruk secara gratis. Andai mencari segelas cappuccino, Ariani menyediakannya dengan harga yang pantas. Selain itu, pengunjung bisa minta diputarkan lagu.

"Aku ingin mengubah stereotip perpustakaan yang terkesan angker," ujarnya berseloroh.
Bosan membaca, pengunjung bisa memanfaatkan fasilitas movie station. Di sini pengunjung mendapati kenyamanan menonton film dari layar 29 inci dan berleha-leha di sofa cokelat yang empuk, tanpa diganggu orang lain yang tak dikenal. Bayarannya pun hanya Rp 7.500,00 per orang.

Tapi untuk menikmati semua fasilitas tadi, pengunjung baru harus mendaftar menjadi anggota. Sebanyak-banyaknya Rp 95 ribu sebagai deposito untuk menikmati segala fasilitas tadi. Uang itu bisa dikembalikan jika yang bersangkutan berniat berhenti. Rumah Buku yang dibuka sejak Maret 2003, sudah memiliki 536 anggota. Para pengunjung setianya biasa mendatangi rumah ini dari pukul 10.00 - 20.00 WIB.
***
dimuat di suplemen kampus_pr 6 juli 2006

”Ngabuburit” Sambil Belajar Kisah Wayang
Oleh : Hardini

NGABUBURIT? Orang Sunda pasti tahu dengan budaya ini. Ya, menunggu waktu buka puasa dengan berjalan-jalan. Demikian juga yang saya lakukan pada hari pertama puasa tahun lalu. Berbekal Peta Komunitas Buku Bandung, saya dan seorang teman ngabuburit dengan berjalan kaki mengelilingi toko-toko buku yang ada di sekitar wilayah Dago, Bandung.

Di salah satu toko buku, mata saya menangkap sebuah buku bersampul merah menyala dengan judul “Anak Bajang Menggiring Angin”, karya Sindhunata. Di bagian belakangnya tertulis: kisah wayang bernilai sastra yang diilhami kisah Ramayana yang hidup di masyarakat Jawa. Wow, rasanya seperti perompak yang baru menemukan harta karun. Buku itu memang sedang saya cari-cari.

Terngiang-ngiang di telinga perkataan sepupu saya beberapa waktu sebelumnya. “Kalau mau belajar wayang, kamu harus baca Anak Bajang...”. Saat itu, saya memang sedang giat-giatnya mencari referensi tentang wayang, kesenian tradisional yang menurut saya sangat besar pengaruhnya terhadap kultur dan karakter beberapa suku di Indonesia. Tanpa pikir panjang, saya pun membeli buku itu.

Membaca “Anak Bajang Menggiring Angin”, merupakan pengalaman yang benar-benar mengasyikkan bagi saya. Kisah Ramayana disajikan dengan kata-kata yang sangat puitis. Cerita dibuka dengan kegagalan Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa dalam menguraikan makna Sastra Jendra (semacam ajian yang konon bila maknanya terurai akan membuat manusia semulia dewa). Kegigihan keduanya terkalahkan oleh hawa nafsu yang mengakibatkan kelahiran Rahwana, raksasa yang kelak menculik Dewi Sinta dari suaminya.

Cerita bergulir terus ke tempat lain di mana Anoman lahir, kehidupan Rama, pernikahan Rama dengan Dewi Sinta, diculiknya Sinta oleh Rahwana, hingga perjuangan Rama dibantu oleh adiknya, Laksmana, dan kera putih yang sakti, Anoman, pergi ke Negeri Alengka untuk menyelamatkan Sinta.

Tidak berlebihan bila sepupu saya berkata saya harus membaca buku “Anak Bajang Menggiring Angin”, bila ingin mengetahui cerita wayang. Begitu banyak tokoh yang diceritakan di buku ini. Tidak hanya berkutat pada “Rama dan Sinta”. Belum lagi sisi-sisi tokoh wayang digali lebih dalam, sehingga di balik kemustahilan yang banyak diceritakan pada kisah ini, tergambar pula sisi-sisi kemanusiaan yang membuat sang tokoh menjadi seolah nyata.

Salah satunya adalah tokoh Rama. Dari cerita yang saya dapat dari komik, serial televisi, atau cerita guru di sekolah, Rama digambarkan sebagai ksatria perkasa yang hebat dan memesona. Gambaran umum tentang laki-laki dambaan sejuta perempuan. Namun di buku ini, Rama yang begitu ksatria dapat menjadi begitu cengeng saat kehilangan Dewi Sinta. Dan Rama yang ksatria, juga tidak lepas dari sisi arogan kelaki-lakiannya. Setelah berjuang setengah mati mengalahkan Rahwana dan puluhan ribu bala tentara Alengkanya untuk menyelamatkan Dewi Sinta, dengan teganya dia meminta dewi cantik jelita itu melemparkan diri ke kobaran api dengan alasan yang sungguh kerdil, takut jika Sinta istrinya sudah tidak suci lagi. Padahal Sinta yang selama ini digambarkan begitu lemah, telah berjuang mati-matian menghadapi kebengisan Rahwana untuk mempertahankan kesuciannya.

Tentu saja bukan hanya kisah cinta yang ada di buku ini, dengan membacanya saya seperti mendapat siraman petuah bijak. Adegan di mana Dewi Sukesi berhenti meratapi nasibnya, dan menyadari bahwa kesalahan masa lalunya timbul karena ia tak sanggup untuk menderita, benar-benar memberi saya pengalaman batin yang luar biasa. Kebahagiaan terkadang hanya keindahan yang menipu. Penderitaan merupakan milik kita yang berharga, karena dengan melaluinyalah kebahagiaan sejati dapat diraih.

Kisah Ramayana yang pertama kali digubah oleh Mpu Walmiki ratusan tahun yang lalu telah hadir dengan berbagai macam versi. Namun, banyak pengamat sastra berpendapat bahwa buku ini tak dapat dianggap sebagai sekedar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah karya sastra dengan gaya bahasanya yang khas, imajinatif simbolik.
***

penulis adalah pengelola toko buku Papirus
Papapipirurus@yahoo.com

”The Cinderella Man”, Bangkit dari Keterpurukan
Oleh : Elta D.

NOVEL ”The Cinderella Man” yang didasarkan pada kehidupan James J. Braddock —seorang petinju kelas berat-ringan Amerika Serikat— memukau saya. Ketika saya diberi rekomendasi oleh seorang kawan yang bergiat di dunia perbukuan, saya langsung menyambar novel ini sebagai urutan teratas daftar belanjaan rutin buku bacaan saya.

Seperti halnya kasus beberapa novel lain yang terkadang lebih greget dibandingkan filmnya, novel ini telah membuktikan lebih baik —filmnya kabarnya cukup meledak di pasaran dan menyabet beberapa penghargaan bergengsi di industri film Holywood.

Novel yang bernuansa autobiografi ini, telah memberi saya inspirasi, terlebih-lebih karena saya hobi menonton pertandingan tinju —dan Chris John adalah petinju favorit— saya lebih merasa yakin bahwa seorang petinju pun memiliki optimisme. Dia mempunyai harapan di kala situasi sesulit apa pun. Hal itu juga berlaku bagi manusia berprofesi bukan hanya seorang petinju.

Jim Braddock mengawali karier tinju profesionalnya di tahun 1926. Dalam waktu dua tahun (1928), dia sudah mengantongi rekor 27 kali menang, 18 di antaranya adalah kemenangan KO, dan tidak pernah terjungkal KO sekalipun. Pada awalnya, Jim memiliki penghidupan yang sangat layak sebagai seorang petinju yang sinarnya sedang benderang.

Namun, sinar kegemilangannya meredup ketika Jim Braddock kalah berkali-kali, menyusul usianya yang melanjut dan munculnya banyak petinju muda berbakat di kelasnya. Jim yang dijuluki sebagai buldog dari Bergen, hidup dalam keterpurukan ekonomi di akhir 1933. Great depression, sebuah depresi ekonomi hebat yang mengguncang ekonomi Amerika Serikat, memperparah kondisi ekonomi Jim, istri, dan tiga orang anaknya.

Mereka tinggal di basement apartemen di tengah musim dingin yang menggigit dengan makanan yang tidak pernah cukup. Pergi berpuluh kilometer hanya untuk mendapatkan giliran kerja yang tak pasti, telah mengisi hari-hari Jim, seorang petinju yang bangkrut. Dia bukannya tidak menabung atau berinvestasi, namun kondisi perkonomian secara makro tetap melemparnya ke jalanan karena investasi yang ia rencanakan, hancur total dihantam badai great depression.

Tahun itu, adalah tahun di mana Perang Dunia II berkecamuk. Betapa besar dan tabahnya seorang Jim dan istrinya mengarungi hidup. Saya lalu membandingkan apa yang telah saya baca dalam buku Garis Besar Sejarah Amerika, begitu gamblang dan terdeskripsikan dengan baik. Seting yang detail menambah gambaran bahwa jika kita bandingkan situasi kita, pascakrisis ekonomi masih amatlah jauh.
Antrean para orang tua mengular di jalanan di kota-kota besar di AS hanya untuk mendapatkan semangkuk sup dari institusi sosial pemerintah. Separuh dokter menganggur, para eksekutif kelas menengah (para akuntan, pengacara, dsb) tinggal menggelandang di taman-taman Kota New York.

Great depression bermula ketika hancurnya pasar saham Amerika Serikat pada Oktober 1929. Rata-rata empat puluh persen nilai saham menguap, beberapa saham bahkan anjlok hingga beberapa sen. Setelah pasar saham runtuh, politikus dan pemimpin industri terus mengeluarkan prediksi optimis bagi perekonomian Amerika Serikat. Akan tetapi, depresi malah menghebat, kepercayaan diri masyarakat Amerika melemah dan banyak yang kehilangan tabungannya untuk seumur hidup.

Sampai tahun 1933, saham di Bursa Efek New York nilainya kurang dari seperlima yang pernah tercapai pada puncaknya di tahun 1929. Rumah-rumah usaha menutup pintunya, pabrik-pabrik tutup, bank-bank gagal dan gulung tikar. Pendapatan pertanian jatuh sampai 50%. Satu dari empat orang Amerika menjadi penganggur. Jim Braddock, adalah salah satu korban dari great depression ini.

Akan tetapi, keinginan Jim untuk bangkit dengan melakukan sesuatu yang ia bisa, yaitu bertinju, mengantarkannya kembali kepada pertarungan-pertarungan bergengsi di laga olah raga tinju. Jim tetap bekerja sebagai buruh di pelabuhan dengan sistem “giliran kerja” meskipun sudah beberapa pertandingan ia kembali menangi. Jim dijadikan simbol kebangkitan kembali orang-orang yang tersisih di antara teman-temannya yang juga menjadi korban dari great depression.
Hal yang menarik adalah, bahwa masyarakat AS yang diwakili oleh potret Jim, mampu bangkit dari keterpurukan tak lama setelah satu dekade berlalu, dan kembali menjadi negara super power dalam kurun waktu kurang dari dua dekade.

Keterpurukan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, secara kasat mata tidak lebih buruk ketimbang yang dialami oleh masyarakat AS ketika dihantam great depression. Di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, tidak kita dapati deretan antrean akuntan atau pengacara (yang menganggur) hanya untuk mendapat satu mangkuk sup.
***
Penulis, adalah pengelola Taman Bacaan Easy Read
ediyarsyah@yahoo.com

Orang Sunda tak Peroleh Perhatian
oleh : agus rakasiwi
SUATU hari di akhir dekade '80-an, seorang berkebangsaan Jepang mulai mencari tahu tentang apa, siapa, dan bagaimana masyarakat Sunda di abad ke-19. Awal keterlibatanya untuk mengetahui tentang etnis terbesar di Indonesia itu, diawali oleh sebuah kebetulan. Kebetulan yang akhirnya menimbulkan rasa empati.Dia, Mikihiro Moriyama. Dia merasa yakin bahwa etnis itu tidak mendapat perhatian lebih dibandingkan etnis lainnya di Indonesia.Mikihiro menilai, bahan-bahan tentang literatur Sunda begitu minim. Kalaupun ada, literatur tersebut masih ditulis dengan tangan. "Saya berpikir bahwa orang Sunda tidak mendapat perhatian yang sepatutnya," ujar Miki, sapaan akrabnya, pada saat diskusi di toko buku Baca-Baca, (26/8).
Rasa empati dan keinginan meluruskan sejarah tentang bahasa dan sejarah Sunda. Dalam bukunya yang berjudul Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, ia hendak memaparkan bahwa orang Sunda adalah bukan masyarakat kelas dua setelah etnis Jawa. Buku itu memberi gambaran yang jelas tentang asal-muasal bahasa dan kesusteraan Sunda. Betulkah bahasa dan sastra Sunda merupakan varian kebudayaan Jawa?Membaca Semangat Baru bukan hanya mengetahui bagaimana bahasa Sunda ditemukan, dimurnikan, dan didayagunakan oleh Belanda atau bagaimana dampak melek aksara dan melek cetak terhadap pembentukan ilmu pengetahuan baru. Uraian di dalamnya juga memberikan gambaran yang rinci bagaimana suatu suku bangsa di negeri ini, menggeliat meniti gelombang modernitas yang melanda Nusantara pada paruh kedua abad ke-19, dan merasa sederajat dengan bangsa-bangsa lain di Barat.Untuk itu, Miki harus menemukan data dan fakta yang valid, daripada sekadar asumsi dan cerita. Kesulitan data tentang perjalanan bahasa dan sastra Sunda, merupakan kendala menyelesaikan buku tersebut, meski Miki telah mengenal bahasa dan budaya orang Sunda sejak tahun 1980. Miki juga tidak ingin hanya menuliskan pengalaman dan asumsi-asumsinya saja dalam membuat sebuah tulisan sejarah. Ia perlu mencari data, meski harus bolak-balik Indonesia-Belanda. Pantas saja Miki menyelesaikan tulisannya dalam kurun waktu 1992-2003.Awalnya, tulisan itu adalah disertasinya untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Leiden.
Namun, karena niat awalnya untuk meluruskan sejarah, ia menerbitkan buku ini pada tahun 2005. "Saya tidak ingin menilai. Saya hanya ingin membantu meluruskan sejarah saja," katanya, dalam bahasa Sunda yang fasih.Uniknya, Miki tidak memilih bahasa Inggris sebagai bahasa "resmi" dalam bukunya. Miki memilih menerbitkan bukunya dalam versi bahasa Indonesia. Menurutnya, buku ini adalah penghargaan bagi orang Sunda, karena itu harus dimengerti oleh yang menerima penghargaan. Bukan berarti orang Sunda tidak memahami bahasa Inggris, tapi lebih pada penghormatan."Orang Sunda itu baik hati. Picik sekali ketika seorang peneliti membuat karya yang tidak dimengerti oleh objek yang ditelitinya. Bertahun-tahun dilayani, tapi tidak memberikan apa pun," katanya dengan gusar.Buku ini sekarang beredar luas tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Jepang.
Namun, Miki mengakui bahwa bukunya tidak terlalu populer untuk kalangan mahasiswa tingkat sarjana. "Sangat sulit untuk dibaca mahasiswa S-1, tapi ini bukan barang baru untuk mahasiswa S-2," kata Miki, yang juga sedang berencana membuat buku tata bahasa Sunda.
***
Dimuat di suplemen kampus, Pikiran Rakyat 7 September 2006

Bandung, Kota Buku yang Terlupakan
BANDUNG sebenarnya memiliki sejarah panjang tentang buku. Bandung tidak hanya terkenal dengan kota ”fashion” dan hiburan ala Paris serta makanannya yang unik. Akan tetapi, sejak dulu kenyamanan Bandung disumbang pula oleh segi intelektual yang membuat para pelajar dan mahasiswa betah menimba ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-20, Bandung terukir sebagai kota berbasis percetakan dan penerbitan selain Batavia, Semarang, Bogor, Cirebon, Surabaya, Pasuruan, dan Surakarta. Dua percetakan milik pribumi di Bandung, seperti yang tercatat dalam buku Semangat Baru karya Prof. Mikihiro Moriyama, yaitu Toko Tjitak Affandi (1903) dan buku-buku karangan Sayyid Uthman, yang diterjemahkan oleh Raden Haji Azhari (tidak disebutkan nama percetakannya). Sedangkan percetakan milik Indo-Eropa diketahui bernama G. Kolff & Co.Dari rentang tahun 1850 - 1906, Kota Bandung telah dibanjiri 222 judul buku berbahasa Sunda, hasil cetakan Bandung dan luar Bandung. Sebagian besar buku-buku tersebut dikonsumsi oleh para pelajar dan mahasiswa, serta gratis disubsidi 100% oleh pemerintah (tidak dikomersialkan seperti sekarang).Buku berbahasa Sunda yang pertama, dicetak yaitu Kitab Pangajaran Basa Sunda setebal 1.490 halaman pada tahun 1950. Dan novel pertama karya sastrawan Sunda D.K. Ardiwinata, berjudul Baruang kanu Ngarora diterbitkan pada tahun 1914 oleh G. Kolff & Co.Kehadiran produk literasi bernama buku sebagai ciri-ciri kemodernan menggantikan prasasti, naskah, dan dokumen, berpengaruh besar terhadap bahan bacaan anak-anak sekolah. S
elain aksara Jawa, Arab, dan Melayu, para pelajar mulai "dipaksakan" mengenal bahasa Latin.Terlepas dari literasi di Bandung adalah produk kolonial, buku tetap memegang kenangan manis bagi warga Bandung tempo doeloe, seperti yang dituturkan oleh R.H. Goerjama, sesepuh Bandung Heritage dalam suatu kesempatan,"Waktu itu, bapak sempat mendatangi toko buku yang paling beken. Mau beli buku Roesdi jeung Misnem dan buku Panjoengsi Basa. Namanya Toko Buku Prawirawinata di Jalan Oude Hospitaalweg, (sekarang Jalan Lembong-pen.) dan cabangnya di Jalan Laksana yang dikelola oleh Pak Ahmad. Pak Prawirawinata, orangnya ramah sekali termasuk sama anak-anak," katanya.Menurut Gorjama, ketika itu toko buku pribumi yang tergolong besar dimiliki oleh R. Prawirawinata. Sedangkan dua terbesar lainnya dimiliki oleh Indo-Eropa, yaitu Toko Buku Van Dorp (sekarang Landmark) di Jalan Braga dan Toko Buku Visser (sudah rata dengan tanah, depan gedung PLN sekarang) yang menjual buku-buku populer.
Toko Buku Prawirawinata, sebagai toko buku pertama yang dimiliki pribumi tentunya menjadi kebanggaan tersendiri untuk warga kota Bandung. Ia menjadi representasi usaha milik orang Sunda yang menjual hasil karyanya dalam bahasanya sendiri. Toko buku itu didirikan sekitar tahun 1920-an dan menikmati masa jayanya sebagai penjual buku-buku Sunda hingga tahun 1930-an.Beberapa kali, toko buku Prawirawinata memasang iklan di koran Sipatahoenan. Menurut Goerjama, sempat melihat nama toko buku tersebut beriklan di majalah Moesson yang terbit di Belanda. Sayang, bangunan toko bukunya kemudian lenyap, dan kini berubah fungsi menjadi sebuah hotel.Salah satu toko buku terkenal lainnya pada masa itu, yaitu Toko Buku Van Dorp. Toko tersebut tercatat dalam sejarah karena keberhasilannya menjual Ensiklopedi Winkler Prins 16 jilid sebanyak 2.000 pasang dengan omzet sebesar 500.000 gulden!Selain pers, penerbitan dan toko buku, Bandung juga dikenal sebagai gudang khazanah ilmu pengetahuan yang tiada tara di Indonesia. Perpustakaan Centrale Bibliotheek di area Gedung Sate yang diresmikan tahun 1924, memiliki koleksi buku teknik dan umum terlengkap kedua setelah perpustakaan pusat di Batavia. Koleksi buku tua, langka, dan berharga tergolong antiqueriat di antaranya yaitu cetakan pertama buku karya Raffles, The History of Java dan Amboinsche Rariteitkamer karya Georg Eberhard Rumpf (hanya dicetak 3 eksemplar, salah satunya tersimpan di perpustakaan ini).
Bagaiamana Bandung sekarang? Sudah tidak aneh jika saat ini orang akan lebih mengenal Bandung sebagai pusat-pusat perbelanjaan untuk kebutuhan mode dan perut an sich. Saban akhir pekan, jalan raya di Kota Bandung selalu sesak dengan para pelancong. Berbelanja dengan information guide minus sejarah perbukuan zaman baheula. Sama sekali tidak mencantumkan, misalnya, di manakah alamat toko-toko buku yang bisa dijadikan sebagai salah satu objek wisata.Hanya ada satu kali event setahun ke belakang yang digagas oleh salah satu toko buku yaitu Wisata Buku, itu pun tidak berkelanjutan dan masuk agenda kota. Lantas, yang menjadi pertanyaan kemudian: apakah memang bisnis buku menurut sebagian besar event organizer atau pemerintah kota dipandang tidak menjanjikan?Padahal jika ditelisik lebih dalam, saat ini di Bandung telah tumbuh sedikitnya 50 titik komunitas literer. Mereka membutuhkan perhatian segera atau setidaknya dapat diketahui keberadaannya oleh masyarakat luas. Bandung tidak hanya memiliki toko-toko buku besar dan kegiatan besar, yang selama ini selalu diadakan dua kali dalam setahun oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat saja, tetapi juga memiliki kantong-kantong buku yang lebih variatif terutama dilihat dari aspek dunia buku berbasis komunitas.Rantai perbukuan di Bandung sebenarnya sudah 100% sempurna. Mulai dari penulis dengan komunitas menulisnya, penerbit, distributor buku, toko buku, perpustakaan/taman bacaan, hingga konsumen.
Namun kiranya, komponen-komponen tersebut kurang menarik bahkan sekadar untuk dilirik sekalipun oleh para pengambil kebijakan. Padahal, mereka dengan kekhasannya masing-masing telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit untuk membentuk karakter intelektual di Bandung.Peta buku BandungUsaha memetakan jaringan perbukuan di Bandung, pernah dilakukan tiga tahun belakangan ini. Hasilnya fantastis, terdapat 400 titik komunitas buku yang hidup di kota ini! Tetapi, entah kenapa usaha tersebut kandas di tengah jalan sehingga masyarakat belum sempat merasakan manfaatnya.Baru dua tahun kemudian, dengan semangat militansi swadaya antarpegiat buku di Bandung, akhirnya data tersebut dikumpulkan kembali dan menghasilkan dokumentasi baru bernama Urban Carthography (disusun oleh Common Room dan Dipan Senja) berisi 33 titik kantong buku. Peta ini telah tersebar di setiap kantung-kantung buku dan beberapa display distro dan sentra kegiatan kampus-kampus. Tahun ini, setelah data diperbarui tercatat sedikitnya 40 titik kantung literasi di Bandung, itu pun belum termasuk 100 penerbit lebih yang telah terdaftar di Ikapi Jawa Barat.Peta ini memberikan informasi kepada khalayak, bahwa sebaran kantung literasi masih tidak merata. Hampir sebagian besar tersebar di wilayah Bandung Utara. Hal tersebut ditilik wajar pula karena wilayah ini banyak berdiri kampus besar dan selalu diidentikkan dengan pusat keramaian Bandung.Kesadaran untuk menganggap buku sebagai kebutuhan primer memang masih terasa berat menurut sebagian besar masyarakat, akan tetapi akan menjadi pertanyaan kembali, Apakah benar membeli sebuah buku itu jauh lebih mahal ketimbang orang berbondong-bondong menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk berbelanja pakaian, itu pun dengan tawar menawar yang alot?
Fakta-fakta sejarah di atas telah membuktikan Kota Bandung tak perlu diragukan lagi sebagai pusat buku yang berpengaruh di tanah air. Namun, sayang sekali kejayaan Bandung sebagai salah satu pusat buku di tanah air ini, di tingkat lokalnya sendiri kian hari kian terkikis. Infrastruktur kota yang lebih mendukung ke arah sisi fashion dan makanan jauh berbanding terbalik dengan ketersediaan akses yang mudah untuk dunia buku.Simak penuturan "kuncen" Bandung, Haryoto Kunto kepada kolektor buku, Haryadi Suadi pada tahun 1985, tentang kegilaannya terhadap buku."Sejak lancar membaca, maka keinginan membaca pun semakin menggebu-gebu. Setiap waktu kosong diisi oleh membaca berbagai macam buku. Pokoknya, di masa-masa itu boleh dikata --tiada hari tanpa membaca buku.
Perpustakaan dan kawan-kawan yang punya minat yang sama mulai dihubungi. Juga semua toko buku telah 'diacak-acak'. Pengeluaran uang mulai diperketat, kemudian disisihkan demi membeli buku," katanya.Ya, semoga saja ke depannya masyarakat akan semakin menaruh minat yang tinggi terhadap buku di kotanya sendiri. Dan secara tidak langsung, aspek intelektual selain pemenuhan kebutuhan perut dan penampilan luar kasat mata, akan terpenuhi.
***
Deni Rachman & Wiku Baskoro
Bergiat di literacy agent Dipan Senja dipansenja@yahoo.com

Artikel PR 7 September 2006

Besok (8 September) Hari Baca Tulis Sedunia
TIAP tahun sejak tahun 1966, UNESCO (The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) alias Organisasi Bangsa-bangsa di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, selalu memperingati Hari Baca Tulis sedunia pada tanggal 8 September. Nah, Bagaimana sebenarnya awal mula, sejarah, dan tujuan kegiatan ini?
Tujuan dari peringatan Hari Baca Tulis sedunia ini adalah menumbuhkan kesadaran dan menggugah opini publik internasional untuk memberi perhatian penuh terhadap kegiatan baca tulis --misi yang diusung UNESCO sejak Konferensi Umum I pada tahun 1946. Peringatan rutin ini merupakan tindak lanjut dari World Conference of Ministers of Education (Konferensi Tingkat Menteri Pendidikan se-Dunia) dalam rangka memberantas buta huruf yang diselenggarakan di Teheran, Iran pada 8 September 1965. Tanggal itulah yang sampai sekarang dipakai untuk memperingati konferensi tersebut, sekaligus diproklamasikan sebagai Hari Baca Tulis sedunia. Saat itu, pemerintah Republik Islam Iran meminta supaya UNESCO memberikan penghargaan kepada setiap usaha pemberantasan buta huruf. Penghargaan pertama yang diberikan yang dirintis oleh pemerintah Republik Islam Iran adalah Mohammed Reza Pahlavi Prize (1967-1978). Setelah itu, disusul oleh dua penghargaan lain yaitu The Nadezhda K. Krupskaya Prize (1970-1991) dan The Iraq Literacy Prize (1989-1991).
Saat ini terdapat lima penghargaan internasional yang diberikan tiap tahun yaitu: 1. The International Reading Association Literacy Award, dirintis pada tahun 1979 oleh lembaga nonpemerintah The International Reading Association. 2. The Noma Literacy Prize dirintis pada tahun 1980 oleh Soichi Noma, President Penerbit Kodansa Ltd.,3. Dua buah penghargaan The King Sejong Literacy Prizes dirintis pada tahun 1989 oleh pemerintah Republik Korea, yang diberikan dalam rangka memperingati seorang raja yang berhasil menemukan huruf Korea sejak 500 tahun silam,4. The Malcolm Adiseshiah International Literacy Prize dirintis tahun 1998 oleh pemerintah India untuk memperingati meninggalnya Malcolm Adiseshiah, sebagai mantan Deputy Director-General of UNESCO dan Chairman of The International Literacy Prize Jury.
Sedangkan tiga kategori yang diberikan sebagai bentuk penghargaan lain yaitu: 1. Pemberian dana sebesar 15,000, dolar AS medali perak dan gelar diploma.2. Anggota kehormatan berupa medali perunggu dan gelar diploma.3. Daftar penghargaan penerima International Literacy Prize. Tema tahun ini, Hari Baca Tulis Internasional mengambil tema "Gerakan Literasi dan Pembangunan yang Berkelanjutan".
Lalu di negara kita, apa yang akan kita peringati pada tanggal 8 September tahun ini?
***
deni rachman dipansenja@yahoo.com

liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006

Deni Rachman dan Wiku Baskoro
Memberdayakan Gerakan Literasi
oleh : ricky yudhistira
pr_kampus
BERONTAK terhadap praktik kekerasan di orientasi pengenalan kampus (ospek) oleh mahasiswa yang notabene teman-temannya, Deni Rachman diasingkan. Mencari aktualisasi baru, alumnus Kimia Unpad ini menoleh pada cita-cita terpendamnya, bikin toko buku. Dengan modal nekat dan dana pinjaman, ia membeli beberapa eksemplar buku dari pasar buku Palasari dan berjualan ngampar di lapangan Gasibu dan kompleks Pusdai. Itu tahun 2001. DI tempat ngampar ini, Deni bertemu seorang distributor dan kerja sama pun terjalin. Atas dasar kepercayaan dan sistem konsinyasi (titip jual), ia bisa memilih buku yang laris untuk dijual dengan jumlah yang banyak relatif tanpa keluar modal. Ia pun mulai merambah event-event lebih besar di tempat-tempat seperti Sabuga dan Graha Manggala Siliwangi. Tetapi, perlakuan tidak enak bukannya tidak sempat mampir. Sampai saat ini, ijazah SMA-nya yang dijadikan jaminan belum dikembalikan oleh sebuah penerbit besar. Padahal, urusan bisnis di antara mereka sudah beres.
Waktu berlalu. Tahun 2003, Deni tetap belum punya toko buku. Justru kos-nya makin penuh terisi dus buku. Berkat jam terbang, Deni mengetahui seluk-beluk bisnis perbukuan. Ia banting setir menjadi distributor dan mendirikan Lawangbuku. Apalagi toko-toko buku seperti yang pernah diidamkannya, mulai ramai bermunculan di Kota Bandung dan sekitarnya. "Waktu itu sebulan bisa muncul satu," katanya mengenang. Kini, tak sedikit dari toko-toko buku itu malah tumbang. Wiku Baskoro, adalah salah satu mantan pengelola toko buku yang tumbang. Bukan hanya satu, tetapi dua toko, yakni toko buku Hitam Putih (2003) dan Warung Lesehan (2004). Hingga saat akhir, tinggal Wiku sendirian. Teman-temannya sudah lama pergi. Ia sendiri mulai terjun ke bisnis buku setelah sukses menggelar pameran buku di kampusnya, Universitas Widyatama. Toh, buku sempat mempertemukan Wiku dan Deni. Mereka mendirikan Dipan Senja pada 2004. "Itu eforia," kata Deni, ketika melihat basis pendirian toko buku yang labil. Pasca orde baru (Orba), menurut dia, keran informasi terbuka luas namun berbarengan dengan krisis ekonomi. Periode 1999-2001 penerbit-penerbit buku dari Yogyakarta meluncurkan buku-buku yang pada masa Orba sulit diperoleh. Mahasiswa melihat peluang bisnis dan kebebasan mengakses buku lebih banyak. "Ada buku, ada modal, ada tempat, jadilah toko buku. Tapi komitmen nggak kuat," kata Deni. Namun benarkah, ada penjual buku karena semangat kumpul-kumpul dan prestise agar kelihatan intelek? "Wajar saja. Nggak munafik, saya memulainya juga karena pengin ada image itu. Tapi itu saja nggak cukup. Harus ada kemampuan manajerial.
Fungsi manajemen mesti berjalan bagus. Deni sempat menerbitkan buku secara independen ("Sosialisme di Kuba: Idealisme Setengah Hati", Kang Bondet/Sigit Susanto, 2004) yang mencuatkan namanya. Dipan Senja kemudian memfokuskan diri pada membangun jaringan komunikasi antarpegiat buku, terutama sisi manajemen. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kurangnya kemampuan manajemen inilah yang membuat kondisi usaha perbukuan tidak sehat.
Dipan Senja menjadi agen literasi. Workshop Buku 5 in One yang merupakan rangkaian kegiatan transformasi ilmu manajemen praktis untuk perbukuan digelar. Dalam bisnis buku, Deni dan Wiku mengalami perubahan paradigma. Sebelumnya mereka menjual/menyalurkan buku menurut selera mereka. Kemudian karakter konsumen/retail mereka perhatikan. Konsumen di Gasibu tentu beda dengan di Sabuga. Image toko-toko buku tentu masing-masing tidak sama. Penerbit pun mereka perhatikan. Sebagai distributor, Lawangbuku memilih penerbit yang peduli pada literasi, minimal mendukung program bedah buku mereka. Sikap manusiawi juga jadi pertimbangan. Pedagang punya kemampuan dan selayaknya diberi keleluasaan menyusun program-program. Bukannya digenjot terus untuk mengejar materi.
Soal retail, Lawangbuku mempertimbangkan profil pengelola dan kelayakan tempat. "Bisnis distribusi Lawangbuku tetap jalan. Secara finansial kita harus kuat. Tanggungjawab kita sebagai pelaku perbukuan itu di Dipan Senja. Jadi, nggak timpanglah. Kita nggak sekadar jadi manusia bisnis, tapi juga manusia yang sosial, bantu teman-teman. Minimal apa yang dipermasalahkan di Lawangbuku, itu bisa teratasi dengan kita ngumpul bareng. Saling menguntungkanlah", kata Deni. Transformasi toko buku menjadi toko buku berbasis komunitas atau toko buku plus taman bacaan dan perpustakaan, dilihat Wiku sebagai sebuah langkah manajemen. "Saya ngelihat-nya sebagai perkembangan. Dulu muncul toko buku, lalu muncul toko buku komunitas, refresh lagi, muncul lagi toko buku dan taman bacan. Dari sisi bisnis, itu seperti tadi, salah satu bagian dari manajerial untuk menambah pemasukan", kata Wiku. Apakah menolong atau tidak, menurut Deni, itu yang mau dilihat dari workshop. Yang jelas, untuk toko buku plus taman bacaan sudah muncul ekses. "Ada beberapa penerbit yang nggak mau menyuplai toko buku yang ada taman bacaannya. Soalnya, katanya sih orang jadi lebih suka minjem daripada beli," kata Deni. Wiku menyatakan heran. mengapa bisnis buku belum pernah dibahas secara detil seperti comsumer goods. Padahal, dari sisi crowded-nya pasar itu menarik. Konsumen tidak banyak, daya beli terbatas, belum lagi buku masuk skala prioritas entah ke berapa. Justru, hal inilah yang menumbuhkan kreativitas toko buku alternatif dengan membuat taman bacaan, misalnya.
Pelabelan alternatif, menurut Deni, juga mengundang ekses tersendiri. Entah siapa yang pertama kali menyebutkan. Istilah ini dialamatkan pada toko-toko buku yang menjual buku-buku bekas, buku-buku yang berasal dari penerbit relatif tidak besar. Karena alternatif, image yang dilayangkan kepada toko-toko buku ini adalah tidak profesional. Belum lagi pembedaan perlakuan yang dialami antara toko buku seperti ini dengan toko buku besar saat pameran, misalnya. "Kan sama-sama tamu, sama-sama toko buku , masa tidak diperlakukan setara," kata Deni. Pemberdayaan manajemen juga dan jaringan komunikasi perlu dilakukan untuk menutup celah kejahatan yang dapat terjadi dalam bisnis ini. Setidaknya menjadi penangkal dini. Model kejahatan "mafia" apa yang biasa terjadi? "Satu, pembajakan. Dua, penipuan", kata Deni. "Teman saya ditipu orang dari Jakarta yang mengaku sebagai distributor. Dia ambil buku sekian juta tanpa dp (down payment-red) sedikitpun. Setelah dilacak ternyata nama orang dan distributor itu nggak ada. Saya pikir buku yang diambil diobral supaya laku aja dan itu merusak. Ada sistem, penerbit ke distributor berapa persen, distributor ke toko buku berapa persen, toko buku ke konsumen berapa. Cuma dengan penipuan seperti itu dia bisa langsung jual ke konsumen dengan harga penerbit ke distributor". Wiku menambahkan, kasus praktik kejahatan yang tengah menimpa sejumlah taman bacaan. "Di taman bacaan itu ada mafianya. Pinjam dan nggak ngembaliin lagi. Teman saya kehilangan buku-buku yang mahal seperti 'Musashi' dan 'Eragon'. Beberapa tempat juga kehilangan banyak buku. Teman saya pengin bikin jaringan antartaman bacaan supaya kalau ada yang seperti itu, keanggotaannya di-black list dan nggak bisa masuk ke taman bacaan yang lain", katanya. Soal mafia perbukuan, Deni juga berusaha melihat ke dalam. "Saya juga sering bertanya. Ketika misalnya saya atau teman-teman yang lain telat bayar, jangan-jangan kita juga mafia. Karena itu menyusahkan dan melambatkan perputaran. Introspeksi juga. Jangan-jangan kita juga mafia buat orang lain, nih. Orang bisa bangkrut gara-gara kita nggak bayar."
Pilihan Dipan Senja untuk menjadi agen literasi, ternyata memang bukan tanpa alasan. Semua lini kegiatan perbukuan seharusnya solid. Satu macet, macet semua. Maka, workshop yang diselenggarakan Dipan Senja, meliputi pengelolaan toko buku alternatif, distributor buku, penerbit, perpustakaan/taman bacaan, dan penulisan. Workshop diadakan secara paralel selama satu tahun hingga tahun 2007, bekerja sama dengan Bale Pustaka (Jln. Jawa No. 6, Kota Bandung). Informasi seputar workshop dapat diakses melalui milis workshopbuku@yahoogroups.com.

***