Tuesday, December 19, 2006

Wiro, Pendekar Sableng yang Gendeng
oleh: Doni Slamet R

PENDEKAR 212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan. Pukulan sakti yang hendak dikeluarkannya adalah Segulung Ombak Menerpa Karang, dengan pengerahan tenaga dalam setengah dari yang dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh lima. Dua kaki tegak merenggang. Dua tangan perlahan-lahan diangkat dari arah pinggang ke atas batu hitam, tepat pada bagian yang diperkirakannya merupakan pintu rahasia.

"Wuttttt! Wutttt!"
"Bummm! Bummm!" Dinding batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti menyebabkan gelegar panjang di dalam jurang. (Misteri Pedang Naga Suci 212, 45)

Itulah salah satu pukulan maut yang dimiliki pendekar 212 Wiro Sableng. Walau namanya sableng, kesaktiannya sangat tinggi. Dengan gayanya yang sableng, Wiro berkelana dalam dunia persilatan yang diciptakan sang pengarangnya.

Bastian Tito, itulah nama pengarang novel silat Wiro Sableng yang melegenda. Gaya khas dari Wiro adalah selalu saja dia ketawa santai sambil garuk-garuk kepalanya. "Hik... hik". Pakaian silat warna putih dengan ikat kepala putih adalah pakaian khasnya. Di punggungnya selalu terselip sebuah senjata berupa kapak sakti. Kapak Naga Geni 212, demikian nama senjatanya. Angka 212 merupakan angka yang menjadi sakti baginya, selain di bilah kapaknya, angka 212 juga tertulis di dadanya yang kekar....

Masih banyak lagi yang khas dari sosok pendekar 212 ini. Begitu kental dan sangat khas membuat saya ingat terus hingga sekarang, padahal sudah 20 tahun yang lalu saya keranjingan membaca serial ini. Novel serial silat Wiro Sableng menjadi buku yang merangsang saya untuk gemar membaca. Setiap bulannya saya pasti berusaha membeli buku itu, kalau tidak salah hanya Rp 1000,00.

Kenapa merangsang? Karena setelah sering membaca serial silat Wiro Sableng, saya jadi gemar membaca buku yang lainnya, termasuk membaca buku wawasan tentang Marxisme, pemikiran liberal, tentang Islam kanan dan Islam kiri, sastra, dan lain-lain. Serial Wiro Sableng 212 mengajarkan saya untuk berjuang mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti Wiro yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan gayanya yang sableng.

Kembali ke serunya cerita silat sang pendekar 212, salah satu yang membuat saya bisa menikmati ceritanya adalah latar belakang budaya Indonesia yang kental. Selain itu, ceritanya pun sangat mudah dicerna, apalagi nama tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita itu selalu saja kocak dan mudah diingat. Misalnya saja Dewa Penidur. Walau kerjaannya tidur, tapi kesaktiannya sangat tinggi. Yang lucu, dia terbangun kalau mau berkelahi. Setelah selesai, dia akan tidur lagi hingga ngorok.

Begitu juga dengan Dewa Tuak, seorang kakek yang ke mana-mana selalu membawa minuman keras berupa tuak dalam sebuah kendi. Di mana pun dan kapan pun, dia selalu mabuk, begitu juga dengan kesaktiannya dan ilmu silatnya seperti orang yang mabuk berat. Walau lemah tak beraturan seperti orang yang mabuk, tenaga dalamnya sangat tinggi sehingga sekali pukul, tenaganya yang dahsyat dapat membuat lawan terpelanting. Ada lagi Setan Ngompol, pendekar yang kerjaannya ngompol seperti bayi. Bau pesing yang menyengat dari pakaian yang dikenakanya menusuk hidung siapa saja yang ada di dekatnya.

Jurus yang dimiliki sang pendekar pun lucu. Coba saja jika Wiro Sableng mengeluarkan jurus kunyuk melempar buah. Perangai atau tingkah laku Wiro Sableng akan seperti seekor monyet yang sedang melempar buah-buahan.

Wiro Sableng merupakan murid nenek Sinto Gendeng. Namanya memang gendeng, begitu pun dengan perangainya yang gendeng, Namun di balik kegendengannya itu, kesaktian yang dimiliki nenek tua ini sangat tinggi.

Jika membaca kisah silat Wiro Sableng, kita akan terperangah dengan keunikan jumlah halaman pada setiap bukunya yang selalu berjumlah 112 atau 128 halaman. Jangan kaget kalau kita tiba-tiba ketawa atau ikut garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Hik... hik," seperti perangai si Wiro yang tetap sableng.
(Doni Slamet R., distributor dan pengelola toko buku surat_tea@yahoo.com.au, pernah dimuat di Pikiran Rakyat suplemen Kampus 14 Desember 2006)
***

Metamorfosis Kertas
oleh: Sigit Susanto

SCHOPENHAUER berkata, "Membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain." Akan tetapi, Nietzsche justru berseberangan dan berargumen, "Orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi."

Lepas dari dua perbedaan pandangan di atas, tetap saja kehadiran buku menjadi sangat penting bagi sebuah peradaban manusia yang selalu berubah ini.

Ketika kita sedang tertatih-tatih menulis karya dan mencoba mengirimkan ke penerbit, agar bisa diterbitkan menjadi buku, di belahan Eropa sudah mulai menerbitkan buku dalam bentuk CD, yang di negeri berbahasa Jerman disebut "Buku Dengar" (Hvrbuch). Sebab itu, calon pembaca yang masuk toko buku atau perpustakaan dihadapkan oleh dua pilihan: akan membaca karya sastra dengan buku atau mendengarkan karya sastra lewat CD?

Bahkan, suara dalam CD tersebut tak jarang dari suara pengarangnya sendiri. Misalnya, G'nter Grass, sastrawan Jerman ini punya tenor yang bagus, sehingga novel-novelnya dengan ketebalan sekira 500 halaman, bisa didengarkan dalam beberapa jam saja. Tak hanya menghemat waktu, tapi bisa mendengarkan suara pengarangnya sendiri. Tapi tentu saja tidak semua pengarang mempunyai suara yang bagus.

Nah, dengan merebaknya karya dalam bentuk CD ini, mulai muncul pekerjaan baru bagi pembaca karya-karya sastra. Peralihan karya sastra dari bentuk buku ke dalam rekaman CD, Grass dalam sebuah wawancara mengatakan, "Bagi saya, sastra itu awalnya berbentuk oral. Sebelum ditulis, hanya diceritakan secara lisan. Di negara-negara Arab masih berjalan tradisi cerita oral ini. Misalnya, di kota Marrakesch di Maroko. Ada sebuah alun-alun dan orang-orang duduk melingkar untuk mendengarkan cerita dari sang pencerita. Homer lah yang memulai membukukan dari cerita oral itu."

Menyimak pendapat Grass di atas, sebetulnya terobosan karya dalam bentuk CD alias oral ini, bukanlah hal yang baru. Penerbit "buku dengar" di Eropa, hanya meniru dari tradisi lampau. Yang membedakan, usia sang pencerita, tentu berbeda dengan usia CD. Bila tak terjadi proses peralihan keahlian bercerita, sebuah kisah akan lenyap. Sedang CD tetap bisa disimpan di tempat yang aman.

Baik karya dalam bentuk buku atau CD, intinya sama-sama menjadi jendela manusia melihat dunia. Dunia tidak sebatas kampung halaman, namun bisa menerobos wilayah negara, bahkan benua. Dunia tidak sebatas idiologi marhenis, tapi bisa mencakup anarkis atau trotzkis. Dunia tidak seluas saminisme, tapi bisa melebar ke globalisasi. Dunia bukan selebar ladang kacang dan kangkung, tapi bisa menyimak lahan gandum serta zaitun.

Lalu, bagaimana cara mendapatkan buku? Seiring merebaknya usaha penerbitan, munculnya banyak toko buku serta berdatangan penulis baru, perlu ditunjang sarana perpustakaan untuk umum. Konon di Jepang, yang pertama dibangun bukan universitas, melainkan perpustakaan. Di Kuba, Castro memberikan instruksi, agar setiap kantor, bahkan hotel mempunyai perpustakaan mini yang mengacu pada idiologi sosialis. Umberto Eco, pada bukunya berjudul "Perpustakaan," (Die Bibliothek) menyebutkan, "Pada zaman kaisar Konstantin di Roma, sudah terdapat 28 perpustakaan.

Usaha yang ideal adalah mendirikan toko buku yang dilengkapi fasilitas perpustakaan. Dengan asumsi pemasukan dari toko buku bisa menunjang kelangsungan perpustakaan. Dalam hal ini, bisa diambil contoh toko buku "Shakespeare & Co" di Paris. Toko buku legendaris yang didirikan oleh perempuan Amerika, Sylvia Beach ini menjual buku berbahasa Inggris dan dilengkapi perpustakaan umum.

Siapa mengira, kalau Hemingway muda saat belum terkenal kala itu tekun menjadi langganan peminjam buku di perpustakaannya. Siapa menyangka, atas keberanian Sylvia Beach novelnya James Joyce "Ulysses" berhasil diterbitkan pertama kalinya. Padahal toko buku itu amat sederhana dan kecil. Namun bila orang berbicara sastra Prancis pada tahun 1920-1930-an, nama toko buku "Shakespeare & Co" ikut andil besar di dalamnya.
(Sigit Susanto, penulis sekarang tinggal di Angelgese, Swiss. Menjadi moderator tetap di milis apresiasisastra@yahoogroups.com dan "mahasiswa" membaca bersama karya sastra James Joyce,pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 7 Desember 2006)
***

Jadi Distributor BukuDari Mana Kita Memulai?

ADA ribuan judul buku yang terbit setiap tahun. Bagaimana caranya untuk sampai ke tangan konsumen? Kurang lebih di sinilah peran para distributor buku. Namun, seberapa besar peluang menjadi distributor buku dan dari mana kita memulainya?

Dalam rantai perbukuan, sejatinya posisi distributor buku berada di tengah-tengah antara penerbit dan toko buku (lalu berujung ke konsumen). Dibanding posisi yang lain, menjadi distributor buku boleh dibilang relatif lebih "enak". "Dengan modal kecil, bahkan tanpa modal, kita bisa menjadi distributor," kata Rudi, Kepala Distribusi Regional 2 Mizan Media Utama dalam Workshop Buku "5 in One", Kelas Distributor Buku di Perpustakaan Bale Pustaka, Sabtu (25/11).

Meski mudah karena minim modal, dalam menjalankannya tidak sesederhana itu juga. Yang penting untuk diperhatikan adalah membangun peta jaringan distribusi. Distributor buku harus tahu bagaimana proses kerja sama dengan toko buku dan penerbit. Kerja membangun jaringan awalnya mungkin tidak mudah. Namun, jika sudah dilakukan dengan baik, selanjutnya ini justru akan mempermudah pekerjaan. "Jaringan harus dibuat seefektif mungkin sehingga biaya-biaya yang keluar dapat seefisien mungkin," kata Rudi, yang sudah 12 tahun menjadi distributor buku.

Bicara bisnis perbukuan, menurut Rudi, peluang untuk berkecimpung di dalamnya masih terbuka lebar. Salah satu indikator, misalnya, perkembangan toko buku masih sedikit. Pemainnya masih itu-itu saja, yaitu toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung, dan beberapa toko buku besar lainnya yang notabene mapan.

Di sisi lain, toko-toko buku di luar yang mapan itu tadi (kerap disebut "alternatif"), banyak juga bermunculan di Bandung. Dalam kaitannya dengan peran distributor buku, hal ini bisa menjadi peluang tersendiri.

Selain ke toko buku, Rudi malah menyodorkan ide untuk mendistribusikan buku ke factory outlet atau kafe yang marak di Bandung. Toh, banyak orang "berduit" di sana. Bahkan, juga pesantren, selain sekolah umum lainnya. Intinya, inovatif agar tidak mati.

Kawan Kampus ada yang berminat? Rudi memberi sedikit tips. Datangi saja penerbit dan ajukan diri untuk menjadi distributor buku. Misalnya, untuk di lingkungan kampus. Jangan lupa beri tahu kalau kawan Kampus siap dengan laporan rutinnya. "Selain itu, kalau perlu buat bazar buku sendiri," katanya.

Soal keuntungan, dituturkan Rudi, distributor buku seringnya hanya bisa mengambil sedikit. Belum lagi repotnya urusan tagih-menagih (tunggakan) di sana-sini. Namun demikian, baginya bisnis buku memang berbeda dengan bisnis lainnya. Ada niat membangun intelektualisme di sana. "Bisnis buku sama dengan membangun peradaban," katanya.

Workshop dengan peserta sekira 20-an orang ini adalah yang kedua kalinya digelar oleh agen literasi Dipansenja, setelah workshop pertama untuk kelas toko buku beberapa waktu yang lalu. Workshop gratis ini diadakan setiap Sabtu, tanggal 25 November-16 Desember 2006. Tema dan narasumber berbeda setiap minggunya dan kemasan acara berbentuk diskusi/sharing.

Kegiatan workshop distributor buku ini akan disusul dengan workshop penerbitan (periode ketiga), workshop perpustakaan/taman bacaan (periode keempat), dan workshop penulisan/pascanaskah (periode kelima). Tujuannya, tak lain untuk membentuk jaringan perbukuan yang sehat. Bukan apa-apa. Semua lini kegiatan perbukuan sebaiknya solid karena kalau satu mandek, maka semua mandek. Informasi seputar workshop ini dapat diakses melalui milis workshopbuku@yahoogroups.com.
***

dewi irmakampus_pr@yahoo.com, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen kampus 30 Nopember 2006

Catatan dari Paris- Membaca Adalah Keniscayaan
oleh: J.J. Kusni

MASALAH minat baca membuat kenanganku sebagai seorang pelanglang buana, melayang ke berbagai negeri yang kebetulan pernah kusinggahi, seperti Republik Rakyat Tiongkok [RRT], Prancis tempat saat ini aku tinggal, dan Indonesia sendiri tentu saja.

Aku berada di RRT pada masa berlangsungnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP, Wen Hua Da Qemin). Pada masa itu, aku melihat anak-anak kecil berdasi merah --dinamakan pionir, kemudian disebut Hong Xiaoping (Prajurit Merah Kecil), sambil berjalan di trotoar atau di kendaraan umum-- asyik membaca. Buku-buku tak lepas dari tangan mereka.

Orang-orang dewasa di angkutan umum atau taman-taman, juga tampak berbuat demikian. Buku-buku sastra yang baru terbit seperti Ouyang Hai, "Nyanyian Remaja", dan lain-lain, segera saja habis terjual sekalipun telah dicetak dalam jumlah jutaan. Apalah arti angka jutaan bagi negeri berpenduduk satu miliar lebih dengan minat baca demikian?

Ketika bekerja kembali di Indonesia, selama beberapa tahun sebagai pengajar di sebuah universitas, aku menyaksikan keadaan yang berbeda lagi. Perpustakaan daerah dan universitas sepi pengunjung. Agar para pendengar mudaku mau membaca dan tidak menggunakan dalih tidak mempunyai buku, maka untuk mereka kufotokopi buku-buku pegangan dengan biaya dari kantongku sendiri.

Sampai pada saatmendiskusikan beberapa kertas kerja yang kuharapkan, ternyata masih saja mereka tidak membaca dengan baik bab-bab yang kutentukan. Kertas kerja-kertas kerja yang mestinya dikumpulkan dan dibicarakan, tidak sedikit yang belum ditulis. Minat baca yang kulihat di RRT demikian berkembang, asing dari tempat di mana aku mengajar. Membaca seakan tidak dirasakan sebagai suatu keperluan mendesak. Termasuk oleh mereka yang sedang belajar di sekolah-sekolah. Pelajaran apa yang didapat dan dikuasai jika hanya bersandar pada mendengar kuliah sang guru selama satu dua jam sebagai pendengar pasif?

Tiba di Prancis, di mana aku memulai pendidikan tinggiku dari awal, aku mengalami langsung bagaimana kemudian membaca buku ini merupakan suatu keniscayaan. Kuliah hanyalah pengantar pembuka pikiran tentang tema-tema pilihan, di samping mengetengahkan serta menjelaskan teori-teori baru sang profesor. Berhasil tidaknya studi, kemudian banyak ditentukan oleh kegiatan para mahasiwa/i itu sendiri. Membaca dan menulis tidak terpisahkan. Di tingkat-tingkat awal, kita diwajibkan membaca 6-7 buku per minggu atau dua minggu, serta diwajibkan membuat ikhtisarnya. Kegiatan begini tidak hanya dilakukan di tingkat perguruan tinggi, tetapi dimulai sejak dini.

Ketika anak-anak masih di tingkat sekolah dasar, pada hari-hari tertentu mereka diajak oleh para guru mereka ke museum atau ke tempat-tempat bersejarah sambil bermain. Setelah itu mereka disuruh oleh para guru menuliskan kesan-kesan mereka, bahkan menyampaikan kesan-kesan itu secara lisan di depan kelas. Dengan cara ini, anak-anak dibiasakan menulis dan mengungkapkan diri secara bebas. Seusai libur panjang mereka pun ditagih oleh para guru untuk menuliskan dan menuturkan pengalaman liburan panjang mereka.

(J.J. Kusni, penulis dan pemerhati buku, tinggal di Paris, email: meldiwa@yahoo. com.sg, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 23 Nopember 2006)
***

Cinta Dalam Cerita
oleh: Ragil Romly

NAPAS saya mengalir mengikuti alur kisah The Thief of Baghdad. Sebuah teater berlatar Bagdad tercipta di kepala saya. Kombinasi huruf yang tercetak di lembaran kertas menjadi perkakas yang merekonstruksi imajinasi saya.

Saya kemudian larut dalam cerita cinta Ahmad, si pencuri Bagdad yang berjuang untuk membuktikan cintanya kepada putri Zubaidah.

Sejenak kemudian saya menarik napas dalam-dalam, menahannya, dan membiarkan udara mengisi jantung saya untuk kemudian mengalir bersama darah menuju kepala saya. Otak saya membutuhkan cukup oksigen untuk kembali membangun theater of mind agar saya mampu bertahan hingga akhir cerita.

Terlintas kembali di kepala saya beberapa judul film atau buku yang menghadirkan sensasi yang sama ketika saya membaca buku atau menonton film. Rangkaian cerita cinta dalam "Laila Majnun", "Ayat-ayat Cinta", Romeo and Juliet, City of Angels, Ghost, Titanic, Ca Bau Kan, dan Forest Gump, adalah kisah lain yang membuat saya diam sejenak di akhir cerita.

Saya tidak tahu kata-kata atau kalimat apa yang harus saya keluarkan untuk mengapresiasi cerita cinta yang tertuang dalam buku atau film tersebut. Diam kemudian menjadi satu-satunya bahasa saya ketika saya mengekspresikan cerita cinta dalam film dan buku tersebut.

Lalu, dalam Shakespeare in Love saya melihat bagaimana seorang William Shakespeare memulai projek cerita cintanya. Ia berempati dalam fiksi yang ditulisnya. Ia memasukkan realitas dan mimpi ke dalam fiksi, hingga akhirnya cerita "Romeo dan Juliet" menjadi cerita cinta sepanjang masa. Cerita cinta yang usianya kini lebih tua daripada pujangga cinta yang menulis cerita cinta tersebut.

Kenapa harus cinta? Mungkin karena cinta adalah sebuah rasa yang senantiasa mengisi kehidupan manusia. Perasaan unik manusia yang membuatnya istimewa. Yang membuatnya mampu bercerita untuk memaknai sebuah kehidupan. Sebuah rasa yang membuatnya memiliki kebijaksanaan yang berbeda. Hingga ia menjadi khalifah di muka bumi yang bersandar pada cinta yang tumbuh dari kombinasi rasio dan emosi.

Dalam cerita yang dijalani sehari-hari, manusia dianugerahi rasio dan emosi untuk memaknai sebuah cinta. Bahasa cinta dalam setiap cerita memiliki makna yang berbeda-beda. Ketika saya sakit, mungkin saya dapat berempati terhadap kisah cinta seorang dokter kepada seluruh pasiennya dalam film Patch Adam. Ketika saya merindukan cinta seorang kakak, mungkin saya akan berempati dengan kisah cinta Children of Heaven. Ketika saya merasakan getaran cinta karena menyukai seorang wanita, mungkin saya menjadi sangat melankolis sehingga mampu berempati dengan cerita cinta yang sangat emosional seperti cerita Ghost, City of Angels, Titanic, Romeo and Juliet, atau Ca Bau Kan. Cinta yang kemudian membuat seseorang mampu menembus batas-batas rasional dan meruntuhkan sekat-sekat suku, ras, dan budaya.

Saya ataupun kita semua, kemudian bisa mendadak menjadi seorang pujangga yang mampu merangkai cinta dalam bentuk cerita untuk diekspresikan, dikisahkan, diapresiasi, lalu dimaknai ketika kita menyimbolkan cinta dalam wujud cerita dan kata-kata.

Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa saya jatuh cinta pada kehidupan. Oleh karena itu, saya membuat cerita dan menyusun kata untuk merangkum dan memaknai kehidupan. Menaknai fiksi dan fakta dengan sebuah cerita cinta.

Karena baik fiksi maupun fakta, cerita cinta sejati senantiasa menjadi cerita yang mampu membuat saya--atau mungkin juga Anda-- menahan napas untuk sekadar memaknai manusia, emosi, jiwa, dan kehidupannya.
(Ragil Romly, relawan fiksi Forum Lingkar Pena Jatinangor, raliesta@yahoo.com, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 16 Nopember 2006)
***