« Home | Cinta Dalam Ceritaoleh: Ragil RomlyNAPAS saya meng... » | Melesatkan Ide Cerita Novelmu oleh : wiku baskoroT... » | "Menemukan" Lagi Masa Kecil oleh : Kandi Sekarwula... » | Menjadi Bijak dengan Buku (Adi Toha, email: jalain... » | Novelis Qaisra ShahrazPakistan dan "Perempuan Suci... » | Pasar Buku Murah dan Berkualitas (Liputan di Piki... » | Seratus Tahun tak TerlupakanOleh : Imam Hidayah Us... » | Buku Bagus Pertama Pecahkan Cerita Misterimu ... » | Rumah BukuBuku, Lagu, Film, Semua Ada di SiniPADA ... » | ”Ngabuburit” Sambil Belajar Kisah WayangOleh : Har... »

Catatan dari Paris- Membaca Adalah Keniscayaan
oleh: J.J. Kusni

MASALAH minat baca membuat kenanganku sebagai seorang pelanglang buana, melayang ke berbagai negeri yang kebetulan pernah kusinggahi, seperti Republik Rakyat Tiongkok [RRT], Prancis tempat saat ini aku tinggal, dan Indonesia sendiri tentu saja.

Aku berada di RRT pada masa berlangsungnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP, Wen Hua Da Qemin). Pada masa itu, aku melihat anak-anak kecil berdasi merah --dinamakan pionir, kemudian disebut Hong Xiaoping (Prajurit Merah Kecil), sambil berjalan di trotoar atau di kendaraan umum-- asyik membaca. Buku-buku tak lepas dari tangan mereka.

Orang-orang dewasa di angkutan umum atau taman-taman, juga tampak berbuat demikian. Buku-buku sastra yang baru terbit seperti Ouyang Hai, "Nyanyian Remaja", dan lain-lain, segera saja habis terjual sekalipun telah dicetak dalam jumlah jutaan. Apalah arti angka jutaan bagi negeri berpenduduk satu miliar lebih dengan minat baca demikian?

Ketika bekerja kembali di Indonesia, selama beberapa tahun sebagai pengajar di sebuah universitas, aku menyaksikan keadaan yang berbeda lagi. Perpustakaan daerah dan universitas sepi pengunjung. Agar para pendengar mudaku mau membaca dan tidak menggunakan dalih tidak mempunyai buku, maka untuk mereka kufotokopi buku-buku pegangan dengan biaya dari kantongku sendiri.

Sampai pada saatmendiskusikan beberapa kertas kerja yang kuharapkan, ternyata masih saja mereka tidak membaca dengan baik bab-bab yang kutentukan. Kertas kerja-kertas kerja yang mestinya dikumpulkan dan dibicarakan, tidak sedikit yang belum ditulis. Minat baca yang kulihat di RRT demikian berkembang, asing dari tempat di mana aku mengajar. Membaca seakan tidak dirasakan sebagai suatu keperluan mendesak. Termasuk oleh mereka yang sedang belajar di sekolah-sekolah. Pelajaran apa yang didapat dan dikuasai jika hanya bersandar pada mendengar kuliah sang guru selama satu dua jam sebagai pendengar pasif?

Tiba di Prancis, di mana aku memulai pendidikan tinggiku dari awal, aku mengalami langsung bagaimana kemudian membaca buku ini merupakan suatu keniscayaan. Kuliah hanyalah pengantar pembuka pikiran tentang tema-tema pilihan, di samping mengetengahkan serta menjelaskan teori-teori baru sang profesor. Berhasil tidaknya studi, kemudian banyak ditentukan oleh kegiatan para mahasiwa/i itu sendiri. Membaca dan menulis tidak terpisahkan. Di tingkat-tingkat awal, kita diwajibkan membaca 6-7 buku per minggu atau dua minggu, serta diwajibkan membuat ikhtisarnya. Kegiatan begini tidak hanya dilakukan di tingkat perguruan tinggi, tetapi dimulai sejak dini.

Ketika anak-anak masih di tingkat sekolah dasar, pada hari-hari tertentu mereka diajak oleh para guru mereka ke museum atau ke tempat-tempat bersejarah sambil bermain. Setelah itu mereka disuruh oleh para guru menuliskan kesan-kesan mereka, bahkan menyampaikan kesan-kesan itu secara lisan di depan kelas. Dengan cara ini, anak-anak dibiasakan menulis dan mengungkapkan diri secara bebas. Seusai libur panjang mereka pun ditagih oleh para guru untuk menuliskan dan menuturkan pengalaman liburan panjang mereka.

(J.J. Kusni, penulis dan pemerhati buku, tinggal di Paris, email: meldiwa@yahoo. com.sg, pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 23 Nopember 2006)
***