« Home | Pasar Buku Murah dan Berkualitas (Liputan di Piki... » | Seratus Tahun tak TerlupakanOleh : Imam Hidayah Us... » | Buku Bagus Pertama Pecahkan Cerita Misterimu ... » | Rumah BukuBuku, Lagu, Film, Semua Ada di SiniPADA ... » | ”Ngabuburit” Sambil Belajar Kisah WayangOleh : Har... » | ”The Cinderella Man”, Bangkit dari KeterpurukanOle... » | Orang Sunda tak Peroleh Perhatianoleh : agus rakas... » | Bandung, Kota Buku yang Terlupakan BANDUNG sebenar... » | Artikel PR 7 September 2006 » | liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006 »

Novelis Qaisra ShahrazPakistan dan "Perempuan Suci"
dewi irma kampus_pr@yahoo.com

BESAR di Inggris, tak membuat perempuan ini serta-merta melupakan tanah kelahirannya, Pakistan. Dalam novel berjudul "Perempuan Suci" (The Holy Woman), Qaisra Shahraz tak hanya mengangkat cerita dengan latar Pakistan, tapi juga eksplorasi isu-isu soal perempuan, dari mulai sistem feodal, tradisi patriarkal sampai soal jilbab.

Dalam novel pertamanya itu, dengan terbuka Qaisra mengisahkan tentang perempuan Pakistan, yang meski terbilang berpendidikan tinggi, harus tunduk pada dominasi patriarkal laki-laki yang dianut turun-temurun di sebuah desa di Pakistan.

Adalah Zarri Bano, Muslimah cantik bergelar master, yang belum juga menemukan lelaki idaman, meski banyak yang melamarnya. Ketika suatu saat bertemu dengan Sikander, hatinya terpikat dan cerita cinta pun dimulai. Namun, kematian adiknya, Jafar, mengubah hidupnya 180 derajat.

Sesuai tradisi di daerahnya, anak lelaki adalah pewaris harta dan penerus martabat keluarga. Maka, ketika Jafar tewas, Habib, ayahnya, yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi, memerintahkan Zarri menjadi Perempuan Suci. Jelas, Zarri harus menanggalkan semua mimpi cintanya, karena ia hanya diizinkan menikah dengan Alquran. Selanjutnya, Zarri hanya bisa menyembunyikan segala perang batin dalam dirinya --apalagi ketika menyaksikan Sikander menikahi adiknya-- di balik burqa (jilbab panjang) yang membungkus tubuhnya dan membatasinya dengan dunia luar.

Soal isu jilbab yang diangkatnya, peraih Golden Jubilee Award ini punya alasan. Menurut Qaisra, ada anggapan di Barat bahwa Muslimah tertindas karena dipaksa memakai jilbab. "Anggapan seperti itu tidak benar," kata Qaisra, saat hadir dalam bedah buku Perempuan Suci di Salman ITB, Kamis (5/10).

Selain di ITB, Qaisra juga hadir dalam diskusi bukunya di beberapa tempat, bersama HMJ PPB FIP UPI, Klabbaca Common Room, dan Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), serta beberapa radio, dalam roadshow-nya di Bandung, 5-7 Oktober 2006.

Melalui novelnya, peraih master dalam bidang sastra ini ingin menunjukkan bahwa sekarang ini, kebanyakan Muslimah yang memakai jilbab, atas dasar kesadaran sendiri. Dalam novel ini digambarkan, awalnya Zarri sendiri sempat benci dengan burqa-nya. Namun, berikutnya Zarri benar-benar membutuhkan burqa, merasakan benda itu sebagai kulit keduanya, dan bahkan seperti telanjang jika tidak memakainya.

Qaisra mengisahkan, butuh 3 tahun untuk menyelesaikan novelnya ini. Setelah novelnya keluar, ia menyadari karyanya bisa saja menimbulkan kontroversi. Bagaimana mungkin seorang Muslimah tidak boleh menikah? Tentunya, itu sangat tidak islami.

Seorang peserta malah melontarkan pendapat bahwa novel ini berkemungkinan membuat pandangan Barat terhadap Islam menjadi (semakin) minor. "Bukan seperti itu. Jika kamu membacanya, kamu akan mengerti," kata Qaisra, menjawab pendapat itu.

Qaisra memang tertarik dengan isu-isu yang menyangkut kehidupan perempuan. Soal menikah lagi (remarriage), misalnya. "Lelaki bisa saja menikah lagi dengan mudah, hari ini, bulan ini, tahun ini, dst. Sedangkan perempuan tidak, kenapa?" ungkapnya.

Debut Qaisra dalam dunia literatur dimulai dari cerita pendek. Karyanya banyak mengupas soal isu-isu lintas-budaya dan memberikan gambaran problematika seorang Muslimah yang tumbuh dewasa di Inggris. Cerita pendek pertamanya, "A Pair of Jeans", kini dipelajari oleh siswa Inggris dan Jerman, untuk menelaah kultur Islam di negeri tersebut. Setelah The Holly Woman, Qaisra juga telah menerbitkan 2 novel lainnya.

Kehadiran Qaisra, yang juga penulis naskah untuk radio maupun televisi, tidak hanya berbicara soal novelnya, tapi juga sharing soal kepenulisan. Bagi Qaisra, keep on writing adalah yang terbaik. "Saya juga pernah ditolak. Tapi jangan pernah menyerah," kata Qaisra yang juga seorang dosen.

Pada akhirnya, lewat novelnya ini, Qaisra ingin memperkenalkan Pakistan kepada para pembacanya.
***