« Home | Orang Sunda tak Peroleh Perhatianoleh : agus rakas... » | Bandung, Kota Buku yang Terlupakan BANDUNG sebenar... » | Artikel PR 7 September 2006 » | liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006 »

”The Cinderella Man”, Bangkit dari Keterpurukan
Oleh : Elta D.

NOVEL ”The Cinderella Man” yang didasarkan pada kehidupan James J. Braddock —seorang petinju kelas berat-ringan Amerika Serikat— memukau saya. Ketika saya diberi rekomendasi oleh seorang kawan yang bergiat di dunia perbukuan, saya langsung menyambar novel ini sebagai urutan teratas daftar belanjaan rutin buku bacaan saya.

Seperti halnya kasus beberapa novel lain yang terkadang lebih greget dibandingkan filmnya, novel ini telah membuktikan lebih baik —filmnya kabarnya cukup meledak di pasaran dan menyabet beberapa penghargaan bergengsi di industri film Holywood.

Novel yang bernuansa autobiografi ini, telah memberi saya inspirasi, terlebih-lebih karena saya hobi menonton pertandingan tinju —dan Chris John adalah petinju favorit— saya lebih merasa yakin bahwa seorang petinju pun memiliki optimisme. Dia mempunyai harapan di kala situasi sesulit apa pun. Hal itu juga berlaku bagi manusia berprofesi bukan hanya seorang petinju.

Jim Braddock mengawali karier tinju profesionalnya di tahun 1926. Dalam waktu dua tahun (1928), dia sudah mengantongi rekor 27 kali menang, 18 di antaranya adalah kemenangan KO, dan tidak pernah terjungkal KO sekalipun. Pada awalnya, Jim memiliki penghidupan yang sangat layak sebagai seorang petinju yang sinarnya sedang benderang.

Namun, sinar kegemilangannya meredup ketika Jim Braddock kalah berkali-kali, menyusul usianya yang melanjut dan munculnya banyak petinju muda berbakat di kelasnya. Jim yang dijuluki sebagai buldog dari Bergen, hidup dalam keterpurukan ekonomi di akhir 1933. Great depression, sebuah depresi ekonomi hebat yang mengguncang ekonomi Amerika Serikat, memperparah kondisi ekonomi Jim, istri, dan tiga orang anaknya.

Mereka tinggal di basement apartemen di tengah musim dingin yang menggigit dengan makanan yang tidak pernah cukup. Pergi berpuluh kilometer hanya untuk mendapatkan giliran kerja yang tak pasti, telah mengisi hari-hari Jim, seorang petinju yang bangkrut. Dia bukannya tidak menabung atau berinvestasi, namun kondisi perkonomian secara makro tetap melemparnya ke jalanan karena investasi yang ia rencanakan, hancur total dihantam badai great depression.

Tahun itu, adalah tahun di mana Perang Dunia II berkecamuk. Betapa besar dan tabahnya seorang Jim dan istrinya mengarungi hidup. Saya lalu membandingkan apa yang telah saya baca dalam buku Garis Besar Sejarah Amerika, begitu gamblang dan terdeskripsikan dengan baik. Seting yang detail menambah gambaran bahwa jika kita bandingkan situasi kita, pascakrisis ekonomi masih amatlah jauh.
Antrean para orang tua mengular di jalanan di kota-kota besar di AS hanya untuk mendapatkan semangkuk sup dari institusi sosial pemerintah. Separuh dokter menganggur, para eksekutif kelas menengah (para akuntan, pengacara, dsb) tinggal menggelandang di taman-taman Kota New York.

Great depression bermula ketika hancurnya pasar saham Amerika Serikat pada Oktober 1929. Rata-rata empat puluh persen nilai saham menguap, beberapa saham bahkan anjlok hingga beberapa sen. Setelah pasar saham runtuh, politikus dan pemimpin industri terus mengeluarkan prediksi optimis bagi perekonomian Amerika Serikat. Akan tetapi, depresi malah menghebat, kepercayaan diri masyarakat Amerika melemah dan banyak yang kehilangan tabungannya untuk seumur hidup.

Sampai tahun 1933, saham di Bursa Efek New York nilainya kurang dari seperlima yang pernah tercapai pada puncaknya di tahun 1929. Rumah-rumah usaha menutup pintunya, pabrik-pabrik tutup, bank-bank gagal dan gulung tikar. Pendapatan pertanian jatuh sampai 50%. Satu dari empat orang Amerika menjadi penganggur. Jim Braddock, adalah salah satu korban dari great depression ini.

Akan tetapi, keinginan Jim untuk bangkit dengan melakukan sesuatu yang ia bisa, yaitu bertinju, mengantarkannya kembali kepada pertarungan-pertarungan bergengsi di laga olah raga tinju. Jim tetap bekerja sebagai buruh di pelabuhan dengan sistem “giliran kerja” meskipun sudah beberapa pertandingan ia kembali menangi. Jim dijadikan simbol kebangkitan kembali orang-orang yang tersisih di antara teman-temannya yang juga menjadi korban dari great depression.
Hal yang menarik adalah, bahwa masyarakat AS yang diwakili oleh potret Jim, mampu bangkit dari keterpurukan tak lama setelah satu dekade berlalu, dan kembali menjadi negara super power dalam kurun waktu kurang dari dua dekade.

Keterpurukan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, secara kasat mata tidak lebih buruk ketimbang yang dialami oleh masyarakat AS ketika dihantam great depression. Di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, tidak kita dapati deretan antrean akuntan atau pengacara (yang menganggur) hanya untuk mendapat satu mangkuk sup.
***
Penulis, adalah pengelola Taman Bacaan Easy Read
ediyarsyah@yahoo.com