« Home | ”The Cinderella Man”, Bangkit dari KeterpurukanOle... » | Orang Sunda tak Peroleh Perhatianoleh : agus rakas... » | Bandung, Kota Buku yang Terlupakan BANDUNG sebenar... » | Artikel PR 7 September 2006 » | liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006 »

”Ngabuburit” Sambil Belajar Kisah Wayang
Oleh : Hardini

NGABUBURIT? Orang Sunda pasti tahu dengan budaya ini. Ya, menunggu waktu buka puasa dengan berjalan-jalan. Demikian juga yang saya lakukan pada hari pertama puasa tahun lalu. Berbekal Peta Komunitas Buku Bandung, saya dan seorang teman ngabuburit dengan berjalan kaki mengelilingi toko-toko buku yang ada di sekitar wilayah Dago, Bandung.

Di salah satu toko buku, mata saya menangkap sebuah buku bersampul merah menyala dengan judul “Anak Bajang Menggiring Angin”, karya Sindhunata. Di bagian belakangnya tertulis: kisah wayang bernilai sastra yang diilhami kisah Ramayana yang hidup di masyarakat Jawa. Wow, rasanya seperti perompak yang baru menemukan harta karun. Buku itu memang sedang saya cari-cari.

Terngiang-ngiang di telinga perkataan sepupu saya beberapa waktu sebelumnya. “Kalau mau belajar wayang, kamu harus baca Anak Bajang...”. Saat itu, saya memang sedang giat-giatnya mencari referensi tentang wayang, kesenian tradisional yang menurut saya sangat besar pengaruhnya terhadap kultur dan karakter beberapa suku di Indonesia. Tanpa pikir panjang, saya pun membeli buku itu.

Membaca “Anak Bajang Menggiring Angin”, merupakan pengalaman yang benar-benar mengasyikkan bagi saya. Kisah Ramayana disajikan dengan kata-kata yang sangat puitis. Cerita dibuka dengan kegagalan Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa dalam menguraikan makna Sastra Jendra (semacam ajian yang konon bila maknanya terurai akan membuat manusia semulia dewa). Kegigihan keduanya terkalahkan oleh hawa nafsu yang mengakibatkan kelahiran Rahwana, raksasa yang kelak menculik Dewi Sinta dari suaminya.

Cerita bergulir terus ke tempat lain di mana Anoman lahir, kehidupan Rama, pernikahan Rama dengan Dewi Sinta, diculiknya Sinta oleh Rahwana, hingga perjuangan Rama dibantu oleh adiknya, Laksmana, dan kera putih yang sakti, Anoman, pergi ke Negeri Alengka untuk menyelamatkan Sinta.

Tidak berlebihan bila sepupu saya berkata saya harus membaca buku “Anak Bajang Menggiring Angin”, bila ingin mengetahui cerita wayang. Begitu banyak tokoh yang diceritakan di buku ini. Tidak hanya berkutat pada “Rama dan Sinta”. Belum lagi sisi-sisi tokoh wayang digali lebih dalam, sehingga di balik kemustahilan yang banyak diceritakan pada kisah ini, tergambar pula sisi-sisi kemanusiaan yang membuat sang tokoh menjadi seolah nyata.

Salah satunya adalah tokoh Rama. Dari cerita yang saya dapat dari komik, serial televisi, atau cerita guru di sekolah, Rama digambarkan sebagai ksatria perkasa yang hebat dan memesona. Gambaran umum tentang laki-laki dambaan sejuta perempuan. Namun di buku ini, Rama yang begitu ksatria dapat menjadi begitu cengeng saat kehilangan Dewi Sinta. Dan Rama yang ksatria, juga tidak lepas dari sisi arogan kelaki-lakiannya. Setelah berjuang setengah mati mengalahkan Rahwana dan puluhan ribu bala tentara Alengkanya untuk menyelamatkan Dewi Sinta, dengan teganya dia meminta dewi cantik jelita itu melemparkan diri ke kobaran api dengan alasan yang sungguh kerdil, takut jika Sinta istrinya sudah tidak suci lagi. Padahal Sinta yang selama ini digambarkan begitu lemah, telah berjuang mati-matian menghadapi kebengisan Rahwana untuk mempertahankan kesuciannya.

Tentu saja bukan hanya kisah cinta yang ada di buku ini, dengan membacanya saya seperti mendapat siraman petuah bijak. Adegan di mana Dewi Sukesi berhenti meratapi nasibnya, dan menyadari bahwa kesalahan masa lalunya timbul karena ia tak sanggup untuk menderita, benar-benar memberi saya pengalaman batin yang luar biasa. Kebahagiaan terkadang hanya keindahan yang menipu. Penderitaan merupakan milik kita yang berharga, karena dengan melaluinyalah kebahagiaan sejati dapat diraih.

Kisah Ramayana yang pertama kali digubah oleh Mpu Walmiki ratusan tahun yang lalu telah hadir dengan berbagai macam versi. Namun, banyak pengamat sastra berpendapat bahwa buku ini tak dapat dianggap sebagai sekedar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah karya sastra dengan gaya bahasanya yang khas, imajinatif simbolik.
***

penulis adalah pengelola toko buku Papirus
Papapipirurus@yahoo.com