« Home | Bandung, Kota Buku yang Terlupakan BANDUNG sebenar... » | Artikel PR 7 September 2006 » | liputan profil PR_kampus 13 Juli 2006 »

Orang Sunda tak Peroleh Perhatian
oleh : agus rakasiwi
SUATU hari di akhir dekade '80-an, seorang berkebangsaan Jepang mulai mencari tahu tentang apa, siapa, dan bagaimana masyarakat Sunda di abad ke-19. Awal keterlibatanya untuk mengetahui tentang etnis terbesar di Indonesia itu, diawali oleh sebuah kebetulan. Kebetulan yang akhirnya menimbulkan rasa empati.Dia, Mikihiro Moriyama. Dia merasa yakin bahwa etnis itu tidak mendapat perhatian lebih dibandingkan etnis lainnya di Indonesia.Mikihiro menilai, bahan-bahan tentang literatur Sunda begitu minim. Kalaupun ada, literatur tersebut masih ditulis dengan tangan. "Saya berpikir bahwa orang Sunda tidak mendapat perhatian yang sepatutnya," ujar Miki, sapaan akrabnya, pada saat diskusi di toko buku Baca-Baca, (26/8).
Rasa empati dan keinginan meluruskan sejarah tentang bahasa dan sejarah Sunda. Dalam bukunya yang berjudul Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, ia hendak memaparkan bahwa orang Sunda adalah bukan masyarakat kelas dua setelah etnis Jawa. Buku itu memberi gambaran yang jelas tentang asal-muasal bahasa dan kesusteraan Sunda. Betulkah bahasa dan sastra Sunda merupakan varian kebudayaan Jawa?Membaca Semangat Baru bukan hanya mengetahui bagaimana bahasa Sunda ditemukan, dimurnikan, dan didayagunakan oleh Belanda atau bagaimana dampak melek aksara dan melek cetak terhadap pembentukan ilmu pengetahuan baru. Uraian di dalamnya juga memberikan gambaran yang rinci bagaimana suatu suku bangsa di negeri ini, menggeliat meniti gelombang modernitas yang melanda Nusantara pada paruh kedua abad ke-19, dan merasa sederajat dengan bangsa-bangsa lain di Barat.Untuk itu, Miki harus menemukan data dan fakta yang valid, daripada sekadar asumsi dan cerita. Kesulitan data tentang perjalanan bahasa dan sastra Sunda, merupakan kendala menyelesaikan buku tersebut, meski Miki telah mengenal bahasa dan budaya orang Sunda sejak tahun 1980. Miki juga tidak ingin hanya menuliskan pengalaman dan asumsi-asumsinya saja dalam membuat sebuah tulisan sejarah. Ia perlu mencari data, meski harus bolak-balik Indonesia-Belanda. Pantas saja Miki menyelesaikan tulisannya dalam kurun waktu 1992-2003.Awalnya, tulisan itu adalah disertasinya untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Leiden.
Namun, karena niat awalnya untuk meluruskan sejarah, ia menerbitkan buku ini pada tahun 2005. "Saya tidak ingin menilai. Saya hanya ingin membantu meluruskan sejarah saja," katanya, dalam bahasa Sunda yang fasih.Uniknya, Miki tidak memilih bahasa Inggris sebagai bahasa "resmi" dalam bukunya. Miki memilih menerbitkan bukunya dalam versi bahasa Indonesia. Menurutnya, buku ini adalah penghargaan bagi orang Sunda, karena itu harus dimengerti oleh yang menerima penghargaan. Bukan berarti orang Sunda tidak memahami bahasa Inggris, tapi lebih pada penghormatan."Orang Sunda itu baik hati. Picik sekali ketika seorang peneliti membuat karya yang tidak dimengerti oleh objek yang ditelitinya. Bertahun-tahun dilayani, tapi tidak memberikan apa pun," katanya dengan gusar.Buku ini sekarang beredar luas tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Jepang.
Namun, Miki mengakui bahwa bukunya tidak terlalu populer untuk kalangan mahasiswa tingkat sarjana. "Sangat sulit untuk dibaca mahasiswa S-1, tapi ini bukan barang baru untuk mahasiswa S-2," kata Miki, yang juga sedang berencana membuat buku tata bahasa Sunda.
***
Dimuat di suplemen kampus, Pikiran Rakyat 7 September 2006