« Home | Jadi Distributor BukuDari Mana Kita Memulai? ADA ... » | Catatan dari Paris- Membaca Adalah Keniscayaan ole... » | Cinta Dalam Ceritaoleh: Ragil RomlyNAPAS saya meng... » | Melesatkan Ide Cerita Novelmu oleh : wiku baskoroT... » | "Menemukan" Lagi Masa Kecil oleh : Kandi Sekarwula... » | Menjadi Bijak dengan Buku (Adi Toha, email: jalain... » | Novelis Qaisra ShahrazPakistan dan "Perempuan Suci... » | Pasar Buku Murah dan Berkualitas (Liputan di Piki... » | Seratus Tahun tak TerlupakanOleh : Imam Hidayah Us... » | Buku Bagus Pertama Pecahkan Cerita Misterimu ... »

Metamorfosis Kertas
oleh: Sigit Susanto

SCHOPENHAUER berkata, "Membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain." Akan tetapi, Nietzsche justru berseberangan dan berargumen, "Orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi."

Lepas dari dua perbedaan pandangan di atas, tetap saja kehadiran buku menjadi sangat penting bagi sebuah peradaban manusia yang selalu berubah ini.

Ketika kita sedang tertatih-tatih menulis karya dan mencoba mengirimkan ke penerbit, agar bisa diterbitkan menjadi buku, di belahan Eropa sudah mulai menerbitkan buku dalam bentuk CD, yang di negeri berbahasa Jerman disebut "Buku Dengar" (Hvrbuch). Sebab itu, calon pembaca yang masuk toko buku atau perpustakaan dihadapkan oleh dua pilihan: akan membaca karya sastra dengan buku atau mendengarkan karya sastra lewat CD?

Bahkan, suara dalam CD tersebut tak jarang dari suara pengarangnya sendiri. Misalnya, G'nter Grass, sastrawan Jerman ini punya tenor yang bagus, sehingga novel-novelnya dengan ketebalan sekira 500 halaman, bisa didengarkan dalam beberapa jam saja. Tak hanya menghemat waktu, tapi bisa mendengarkan suara pengarangnya sendiri. Tapi tentu saja tidak semua pengarang mempunyai suara yang bagus.

Nah, dengan merebaknya karya dalam bentuk CD ini, mulai muncul pekerjaan baru bagi pembaca karya-karya sastra. Peralihan karya sastra dari bentuk buku ke dalam rekaman CD, Grass dalam sebuah wawancara mengatakan, "Bagi saya, sastra itu awalnya berbentuk oral. Sebelum ditulis, hanya diceritakan secara lisan. Di negara-negara Arab masih berjalan tradisi cerita oral ini. Misalnya, di kota Marrakesch di Maroko. Ada sebuah alun-alun dan orang-orang duduk melingkar untuk mendengarkan cerita dari sang pencerita. Homer lah yang memulai membukukan dari cerita oral itu."

Menyimak pendapat Grass di atas, sebetulnya terobosan karya dalam bentuk CD alias oral ini, bukanlah hal yang baru. Penerbit "buku dengar" di Eropa, hanya meniru dari tradisi lampau. Yang membedakan, usia sang pencerita, tentu berbeda dengan usia CD. Bila tak terjadi proses peralihan keahlian bercerita, sebuah kisah akan lenyap. Sedang CD tetap bisa disimpan di tempat yang aman.

Baik karya dalam bentuk buku atau CD, intinya sama-sama menjadi jendela manusia melihat dunia. Dunia tidak sebatas kampung halaman, namun bisa menerobos wilayah negara, bahkan benua. Dunia tidak sebatas idiologi marhenis, tapi bisa mencakup anarkis atau trotzkis. Dunia tidak seluas saminisme, tapi bisa melebar ke globalisasi. Dunia bukan selebar ladang kacang dan kangkung, tapi bisa menyimak lahan gandum serta zaitun.

Lalu, bagaimana cara mendapatkan buku? Seiring merebaknya usaha penerbitan, munculnya banyak toko buku serta berdatangan penulis baru, perlu ditunjang sarana perpustakaan untuk umum. Konon di Jepang, yang pertama dibangun bukan universitas, melainkan perpustakaan. Di Kuba, Castro memberikan instruksi, agar setiap kantor, bahkan hotel mempunyai perpustakaan mini yang mengacu pada idiologi sosialis. Umberto Eco, pada bukunya berjudul "Perpustakaan," (Die Bibliothek) menyebutkan, "Pada zaman kaisar Konstantin di Roma, sudah terdapat 28 perpustakaan.

Usaha yang ideal adalah mendirikan toko buku yang dilengkapi fasilitas perpustakaan. Dengan asumsi pemasukan dari toko buku bisa menunjang kelangsungan perpustakaan. Dalam hal ini, bisa diambil contoh toko buku "Shakespeare & Co" di Paris. Toko buku legendaris yang didirikan oleh perempuan Amerika, Sylvia Beach ini menjual buku berbahasa Inggris dan dilengkapi perpustakaan umum.

Siapa mengira, kalau Hemingway muda saat belum terkenal kala itu tekun menjadi langganan peminjam buku di perpustakaannya. Siapa menyangka, atas keberanian Sylvia Beach novelnya James Joyce "Ulysses" berhasil diterbitkan pertama kalinya. Padahal toko buku itu amat sederhana dan kecil. Namun bila orang berbicara sastra Prancis pada tahun 1920-1930-an, nama toko buku "Shakespeare & Co" ikut andil besar di dalamnya.
(Sigit Susanto, penulis sekarang tinggal di Angelgese, Swiss. Menjadi moderator tetap di milis apresiasisastra@yahoogroups.com dan "mahasiswa" membaca bersama karya sastra James Joyce,pernah dimuat di Pikiran Rakyat, suplemen Kampus 7 Desember 2006)
***